Jangan menyangka mimpi tentang tatanan yang ideal itu adalah sebuah keteraturan yang akan memihak pada keadaan dirimu. Jangan terbuai, bahwa keteraturan itu akan membawamu pada mimpi yang tertinggi. Justru jika benar-benar dunia ini beranjak semakin ideal, dengan modal yang sama seperti yang sekarang ini kau miliki. Kamu pasti akan lebih mengeluh.
Ingat ! Keruwetan dan tantangan diciptakan, karena pada dasarnya hidup ini membutuhkan hal itu agar dapat mengalir terus, berbolak-balik dalam siklus yang tak boleh berhenti.
Kalau kita sudah berhenti pada kodrat ideal, maka bisa jadi semua akan berkesudahan. Tak ada lagi yang perlu digapai, karena semua sudah baik dan makin baik.
Memang di kondisi yang sekarang ini kita hadapi. Banyak berkeliaran ketidakadilan yang menusuk-nusuk daging dan kalbu kita. Kompetisi tidak selamanya hadir secara fair dan terkadang itu memusingkan alur berfikir yang selama ini kita pelajari di bangku pendidikan.
Tapi, kalau lebih legowo, atas berbagai praktik real tersebut. Sesungguhnya, dari ketidakadilan itulah kita belajar, kita dibimbing dalam pilihan-pilihan. Dan konteks hitam putih dunia menjadi lebih kentara. Disitu kita ditantang untuk mau atau tidak, memilih lajur pilihan yang baik dan benar.
Kalau mau lewat jalan lurus, maka jadilah cendikiawan yang mumpuni, disamping pandai tapi juga seorang ahli strategi yang memiliki jaringan kekuasaan dan keuangan yang lengkap. Jika tidak, maka konsekuensi bertarung terbuka adalah pilihan yang bisa serba sulit. Karena tanpa jaringan itu, para cerdik cendikia jebolan pendidikan tinggi, terkadang harus menelan pil pahit ketika kemungkinan kekejaman akan menindas hati nurani mereka. Strata kepandaian pada kenyataannya kalah dengan tangan-tangan kroni kekuasaan dan pula kebebasan-kebebasan para tuan tanah elit kapitalis.
Dalam gelembung yang kadang kasar semacam itu. Sebenarnya, kita tidak boleh berputus asa, ibaratnya kalau masih bisa menghindar, kenapa harus kita tercebur ke kubangan lumpur. Diluar yang kotor, masih terhampar jalur yang amat sangat sehat, dimana kompetisi yang bersih itu berjalan. Penghargaan itu berlangsung, dan kualitas dijunjung dihargai, meski bukan tanpa pengorbanan. Dan semestinya, kita memilih untuk menempuh segalanya yang sehat, yang halal, yang bisa memberikan keberkahan semacam ini.
Kalau di lingkungan di sekitar kita, kompetisi tidak sehat membuat kita ternafikkan, terbuang, maka itu adalah pilihan kolektif mereka. Kalau memang kita mampu merubah, mari kita rubah, tapi jika tidak mampu, sungguh itu bukan kesalahan kita. Karena batas-batas kemampuan yang kita miliki tidak mampu menembusnya.
Toh, sejarah akan mencatat. Komunitas ini tidak akan dilaknat oleh apapun juga, mereka hanya akan kecewa menanggung sebab akibat atas ulah mereka pada proses panjang yang tidak terasa tetapi pasti.
Maka biarlah semuanya ini berproses. Pendewasaan tidak berjalan instan. Dan terimalah kondisi real ini sebagai sebuah konteks yang ideal pada masanya. Tentu tidak mungkin kita berandai-andai, bahwa semua software compatibel di tipe IOS yang tidak paling mutakhir.
La Tahzan, jangan bersedih hati. [ * ]
Kalau kita sudah berhenti pada kodrat ideal, maka bisa jadi semua akan berkesudahan. Tak ada lagi yang perlu digapai, karena semua sudah baik dan makin baik.
Memang di kondisi yang sekarang ini kita hadapi. Banyak berkeliaran ketidakadilan yang menusuk-nusuk daging dan kalbu kita. Kompetisi tidak selamanya hadir secara fair dan terkadang itu memusingkan alur berfikir yang selama ini kita pelajari di bangku pendidikan.
Tapi, kalau lebih legowo, atas berbagai praktik real tersebut. Sesungguhnya, dari ketidakadilan itulah kita belajar, kita dibimbing dalam pilihan-pilihan. Dan konteks hitam putih dunia menjadi lebih kentara. Disitu kita ditantang untuk mau atau tidak, memilih lajur pilihan yang baik dan benar.
Kalau mau lewat jalan lurus, maka jadilah cendikiawan yang mumpuni, disamping pandai tapi juga seorang ahli strategi yang memiliki jaringan kekuasaan dan keuangan yang lengkap. Jika tidak, maka konsekuensi bertarung terbuka adalah pilihan yang bisa serba sulit. Karena tanpa jaringan itu, para cerdik cendikia jebolan pendidikan tinggi, terkadang harus menelan pil pahit ketika kemungkinan kekejaman akan menindas hati nurani mereka. Strata kepandaian pada kenyataannya kalah dengan tangan-tangan kroni kekuasaan dan pula kebebasan-kebebasan para tuan tanah elit kapitalis.
Dalam gelembung yang kadang kasar semacam itu. Sebenarnya, kita tidak boleh berputus asa, ibaratnya kalau masih bisa menghindar, kenapa harus kita tercebur ke kubangan lumpur. Diluar yang kotor, masih terhampar jalur yang amat sangat sehat, dimana kompetisi yang bersih itu berjalan. Penghargaan itu berlangsung, dan kualitas dijunjung dihargai, meski bukan tanpa pengorbanan. Dan semestinya, kita memilih untuk menempuh segalanya yang sehat, yang halal, yang bisa memberikan keberkahan semacam ini.
Kalau di lingkungan di sekitar kita, kompetisi tidak sehat membuat kita ternafikkan, terbuang, maka itu adalah pilihan kolektif mereka. Kalau memang kita mampu merubah, mari kita rubah, tapi jika tidak mampu, sungguh itu bukan kesalahan kita. Karena batas-batas kemampuan yang kita miliki tidak mampu menembusnya.
Toh, sejarah akan mencatat. Komunitas ini tidak akan dilaknat oleh apapun juga, mereka hanya akan kecewa menanggung sebab akibat atas ulah mereka pada proses panjang yang tidak terasa tetapi pasti.
Maka biarlah semuanya ini berproses. Pendewasaan tidak berjalan instan. Dan terimalah kondisi real ini sebagai sebuah konteks yang ideal pada masanya. Tentu tidak mungkin kita berandai-andai, bahwa semua software compatibel di tipe IOS yang tidak paling mutakhir.
La Tahzan, jangan bersedih hati. [ * ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar