• Kesah Togog, Kesah Semar



    Langit berkabut, orang akan menebak hujan sebentar lagi turun, rombongan kecil yang dipimpin Togog itupun menghentikan pengembaraannya, mereka memutuskan menginap di sebuah pondok kecil di pojokan Desa.

    Bagi Togog tidak afdol dirinya tidak menghampiri saudaranya yang tinggal tak jauh dari penginapannya itu.

    Di depan rumah yang di ingatnya sebagai rumah saudaranya itu. Si Mulut panjang berteriak-teriak “Mar.. Semar, ini Kakakmu datang”.

    Rumah itu seperti tak berpenghuni. Teriakan Togog berkali-kali tak dijawab oleh empunya rumah.

    "Apa Semar sudah pindah ya ?" renungnya dalam hati.

     Togog masih setia di depan pintu rumah itu, hingga ada orang yang menepuk pundaknya dari belakang.

    “Plok..” keras pukulannya. “Pak De Togog, to ini ?” seru Bagong.

    Menoleh. “Eh...Anakku Bangong” jawab Togog spontan. Sambil mengelus pundaknya “Sakit, Le. 

    Dua orang kerabat itu memang lama tak bertegur sapa. Pertemuan keduanya terpancar jelas dalam rona lukis wajah penuh kangen.

    “Rumah ini sudah lama dijual Pak De” tegas Bagong.

    “Hmmm...” gumamnya.

    “Ya sudah, Ayo Pak De saya antar ke rumah Bapak” ajak Bagong.

    “Ayo..” barang bawaannya dipanggul di pundak, isinya mungkin seputar perabot pengembaraan. 

    Kedua orang inipun jalan reruntutan, Bagong menjadi penunjuk arah, Togog dibelakang membututi. Sepanjang jalan Bagong seperti sedang berenergi untuk mencerca pamannya yang sudah bertahun-tahun tidak mampir ke rumahnya. Dari urusan keluarga, pemerintahan hingga perjalanan sunyi menuju ujung lahat di tanyakannya seperti tak lelah-lelahnya.

    ***


    Gubuk itu dari luar nampak kecil. Ukuran minimalisnya meyorong sebuah warna kedamaian, seperti kata orang, pemiliknya bukan pembesar, bukan aktor terkenal, namun kebanyakan orang takdzim pada kesepuhannya

    Dan nampak dari kejauhan, dua orang berperawakan agak tambun besar itu menjejakkan kakinya memasuki salah satu pintu rumah, seisi rumah seperti sedang bahagia menyambut kedatangan keduanya.

    “Asalamualaikum” Bagong masuk rumah. “Bapak diamana Truk, ini ada tamu spesial” alunnya ala serak-serak suara Bagong.

    Petruk asyik menonton televisinya. “Iya, ta ?” sambil menoleh “Ealah, Pak De to ? Sugeng Pak De ?” sambut Petruk yang beranjak dari kursinya, air muka Petruk jadi cerah bercahaya. “Duduk sini Pak De, tak buatkan kopi” sambil ribut sendiri polahnya.

    “Iya, Saya tak ngadem dulu” udara di luar memang panas, keringat bercucuran di sekujur tubuh Togog.

    Rumah itu nampak lengang, abdi yang biasa membantu juga tidak nongol hidungnya. “Kog, sepi gini. Nggak seperti dulu. Bapakmu dimana ?” tanya Togong.

    Petruk menghidangkan dua cangkir kopi, “Iya, Pak De. Anak-anak ini pada lagi liburan.”

    Dari dalam, tirai itu terbuka, si gendut berperut lebar yang membukanya. Matanya masih keyip-keyip, rambut yang nampak memutih itu seperti tak siap untuk menerima tamu, acak-acakan tidak tersisir, Semar menguap.

    Tak disangka, Semar tak merasa ada tamu penting, namun memang mata bening Semar tak salah orang. Tamunya adalah kakaknya sendiri, Sang Tejamaya atau dikenal dengan Ki Lurah Togog. 

    Sergahnya dengan segera “Ealah,..Kakang to ini tadi, pantesan rame.” Hati Semar berbunga, wajahnya sumringah dengan senyum lebar meneduhkan. Dia lantas memeluk kakaknya itu, “Ealah, malah terlihat sama tuanya, mrongos semua”  peluk hangat “Sehat, kan Kang ?”.

     “Iya Sehat Di”

    ***



    Acara sambut kangen itu usai. Semar dan anak-anaknya berduduk santai di gelaran tikar ruang tamu di temani dering lagu-lagu melodi klasik yang diputar oleh Petruk. 

    “Aku kesini ini ada perlu sebenarnya Di” sambil jeda menyalakan korek untuk rokoknya yang sudah terapit bibir lebarnya. “Dirimu kan tahu to, sekarang apa-apa nampak susah. Ini susah, itu susah, semua serba susah, orang-orang tingkahnyanya susah semua” kepul asap rokok Togog seakan ikut berekspresi.

    Giliran Semar membalas kepul asap rokok Togog itu dengan meniup-niup kopi hitam kental di depannya. Dan di sruputlah pada ujung lepeknya.

    Sampeyan kog, malah ikut-ikut susah to Kang, Kang ?”

    Mulut Togog malah nampak makin mancung seperti paruh burung bangau kalau cemberut.

    “Pak De ini, pengangguran pasti. Dia berkelana karena susah. Iya to Pak De ?” tanya Bagong yang duduk di sisi kanan Semar sambil ikut mengamati raut wajah tua pamannya itu. 

    “Ya, ndak to Di. Kalau Togog susah, rusak nanti tatanan ini”

    “Ooohhh………..ungkap Bagong dengan cengir agak mengejek.

    “Togog mungkin hanya sedih Gong”

    Sela cerita, tingkah Gareng seperti tidak sedang asyik mendengarkan. Dia malah menggores-goreskan kertasnya. Seperti menggambar kedua tokoh di depannya yang tidak segagah dulu, kini dua sosok dihadapannya itu layu dan ompong, keropos dimakan asam garamnya dunia, keok disapu angin yang tak lagi berpihak lagi pada rasa hati keduanya.

    “Sedih itu, nggak apa-apa Kang, asal jangan susah” tutur Semar

    Mata Togog yang besar itu memancarkan cahaya seolah terus dihantui rahasia “Dulu, kini dan yang akan terjadi, semua harus berubah. Berubah. Semua memang sudah berubah, Mar”

    Mengiyakan. Semar hanya manggut-manggut.

    “Sekarang zaman serba canggih Pak De. Internet di mana-mana, orang tambah pinter.” sela Bagong lagi. 

    Mulut Bagong kini ditabok Petruk “Diam”

    Lanjut Gareng “Heeh, yang bodoh dan dungu juga banyak, Nyuk

    Jangan kaget, tabiat ketiga anak Semar itu memang suka ricuh, tapi mereka juga bisa sangat takdim mendengarkan. Bagong terpaksa diam biar tidak dilanggar haknya lagi oleh saudaranya. Petruk dan Gareng juga terlihat serius kembali memperhatikan percakapan atas kedua mantan Dewa itu.

    Togog bernostalgia dengan ingatan lalunya. “Dulu, sewaktu kita jadi Dewa, semua serba enak. Tapi semua kayak dibalik sekarang. Hanya sebagai abdi, momong orang. Bawaannya dimarahi, disalahkan. Deritanya setelah jadi manusia biasa itu seperti ini ternyata. Semua dibuat susah. Enakan Bathara Guru, Di. Pasti hidupnya serba kecukupan di Khayangan” resah Togog.

    Gelagak Semar berbeda, dengan nada tinggi “Kog bisa Kang ?”

    “Pikir, coba ?”

    Semar menggeleng-gelengkan kepala pertanda dia tak setuju dengan ungkapan sedikit berputus asanya Togog.

    “Begini Kang. Dewa itu belum tentu lho mau dan berani seperti kita ini. Mereka belum tentu bisa sabar seperti kita. Pensiun dari Dewa dan  menjadi pemomong itu mulya, Kang. Tidak semua Dewa bisa lho, melakukan yang kita jalani ini ?”

    “Hmmm...” gumamnya sedikit tersadar.

    “Kalau Kakang merasa enak menjadi Dewa, merasa iri dan merasa sengsara menjadi rakyat jelata sekarang ini. Berarti ada yang salah ketika Kakang dulu jadi Dewa. Ingat Kang, sewaktu jadi Dewa Kakang apa pernah mikirkan hidupnya rakyat besok makan apa? Trus Raja ini bener atau tidak ? Ndak kan…!

    “Salah ya Gong” bisik Petruk, seolah berfikir sebab tak paham.
     

    “Iya Truk” timbal Bagong tanpa pikir panjang.

    Salahlah, tabiat kita ini kan cuek”cetus Gareng.

    “Jangan kedonyan Pak De. Iri dan merasa sengsara itu bawaan orang serakah” Bagong menasehati.

    “Memang benar semua perkataan kalian” Togog termenung. “Jadi Dewa itu harus bisa jadi rakyat jelata, pun sebaliknya. Kalo nggak siap jadi rakyat jelata, setinggi apapun pangkat Dewanya tentu pasti tak akan mulya. Dewa kan juga sebatas jabatan yang dititipakan. Rak gitu, to Mar ? Iya kan Gong” Togog ganti manggut-manggut.

    “Iya Kang. Hidup inikan mung mampir ngombe. Kesempatan jadi Dewa kita anggap saja hadiah, sisanya juga dinikmati saja agar berkah. Toh, kita masih dipercaya jadi pemomong.

    ***


    Percakapan itu belum terhenti. Togog menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kaki masih bersila. Dia masih juga tak puas, dia merasa ingin mencurahkan seluruh keluh kesahnya demi mempertebal keyakinanannya.

    “Begini Di. Aku ini mau bercerita lama sebenernya belum kesampaian” terpotong.

    “Wah cerita apa Pak De ? Rahasia ini pasti” giliran Petruk menyelanya.

    Hidung panjang Petruk seperti tak sabar mendengar lanjutannya.

    “Nggak ada yang rahasia-rahasian” jawab Togog.

    “Pak De ini sudah tua. Nggak mungkin ada rahasia-rahasiaan. Kan tinggal nunggu hari” Bagong berulah lagi.

    “Hust. Ngawur kamu” giliran Gareng ikut angkat bicara.

    Diteruskanlah. “Aku ini merasakan hidupku ini sedikit aneh, Di. Tuan-tuanku itu orang yang terkenal jahat-jahat. Hingga setua ini, nasehat-nasehatku hanya bagaikan omong kosong, ibarat hanya menggarami lautan,  dicampakkan, dianggap angin lalu.”

    “Iya, Kang” jawab Semar singkat.

    “Pantes ya, Truk. Pak De ini bibirnya melebarrrrrrrrrrrrr...........terus, nasehatnya gak ada yang mendengarkan sih.”

    “Hust”

    Togog meneruskan “Terkadang ada rasa ragu menggeragap. Apa aku memang kurang cerdas, kurang sabar atau bagaimana ? Rahwana tuanku mati dan kini nyawanya gentayangan merasuki orang-orang, banyak Raja kini berkepala sepuluh, dia Rahwana baru. Sengkuni juga telah disobek-sobek tubuhnya, tak berbentuk tinggal tulang belulang saja oleh Werkudara, tapi sukmanya awet, para pemikir picik masih bertebaran. Dan banyak lainnya. Kayak-kayak, aku ini nggak berguna. Dari dulu sampai sekarang perjuanganku nihil, kalah terus. Tuanku kog tidak satupun ada yang mertobat ya, Di”

    “Ceritanya berat” tukas Bagong.

    “Enakan kamu Di. Anak asuh yang kamu emong orang-orang baik, Prabu Arjunasasra, Prabu Rama, Raden Janaka, semua orang-orang baik, orang-orang pinter, orang-orang bijak. Jelas, terjamin hidupmu, sebab dirimu selalu sukses mengarahkan mereka pada kebajikan.”

    Suasana ruang itu menjadi sedikit hening, meski hari masih sore.

    “Apa ini memang takdirku ? Ada yang bilang semua akan menuai hasilnya masing-masing, orang baik mendapat surga sedangkan yang jahat itu pasti balasannya disiksa di neraka kelak. Aku malah ngeri Di. Statusku nggak jelas atas keduanya. Duh....”

    “Dicincang-cincang gitu, Pak De katanya, kalo di neraka itu.” seloroh Bagong lagi.

    “Pertanggung jawabanku nanti bagaimana, ya. Apa aku bisa khusnul khotimah. Aku juga ingin khusnul khotimah lho, Di. Tapi kog nasibku jelek terus. Gagal terus menasehati.”

    Semar kini bicara setelah membisu mendengarkan uraian panjang

    “Loh...loh...loh. Kang Togog, jangan bicara begitu.”

    “Ngawur itu Pak De namanya. Pak De itu orang baik. Iya kan Truk”

    “Iya..” jawab Petruk sedikit heran Bagong kog sedikit benar ucapannya.

    Suasana masih terhanyut hening, Gareng “pasrah aku, kalau begini, aku saja juga nggak jelas”

    “Kang Togog kog berputus asa sepertinya. Khusnul khotimahnya Togog dan Semar itu caranya berbeda, wong bagiannya tidak sama kog.”

    “Bener itu” dua jempol mengikuti suara seru Petruk.

    “Siapa yang bisa istiqomah kayak Kang Togog coba ? Sudah tahu sang tuan orang yang jahat, orang yang telinganya tuli, tapi Kakang kan orang hebat, sebab masih bisa terus menasehati. Jarang-jarang orang bisa telaten seperti itu.”

    “Iya, ya Mar” dengan suara halus.

    “Lha, apa yang saya kerjakan juga tidak gampang Kang, sama seperti yang Kakang garap. Sampeyan itu mungkin melihat saya itu enak. Tapi mengasuh orang pinter itu tidak gampang lho, Kang.”

    Semar mengatur pembicaraannya “Ngasuh orang pinter itu menuntut kita lebih pinter, yang ngasuh harus lebih jago ilmunya. Kalo nggak lebih pinter, bahayanya nanti yang diasuh malah keblinger. Ngatur-ngatur semaunya, merasa paling pinter, padahal pinter itu kuncinya kalo terus mau belajar, Kang. Aku ini belajar terus Kang. Sampeyan begitu juga kan.

    “Iya, Di. Saya renung-renungkan, kog bener ucapanmu itu” tutup percakapan sore itu.

    Setiap orang diberi kelebihannya Kang, bukan untuk dibanding-bandingkan, namun untuk ditekuni pada jalan lurus paling maksimal sebagai bagian dari kesadaran atas pembagian tugas yang dilimpahkan. Bukankah itu pula bagian dari memayu hayuning bawana, menciptakan keseimbangan dan keindahan dunia.

    “Gusti Allah ora sare (tidak tidur), kog ya Di. Lara-larane urip, temahan mulya-mulyaning derajat (Sakit-sakitnya hidup, akhirnya menuju pada kemulyaan pada kedudukan) ”

    ***

    END



  • You might also like

    1 komentar:

    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      BalasHapus