• LIFE IS MAT SINAMATAN



    Ungkapan Jawa selalu punya ketepatan sesuai konteks sosial yang ada. Sangat sosiologis dan filosofis, termasuk ajakan untuk bertoleransi satu sama lain, tanpa merendahkan orang lain dan tanpa meninggikan diri sendiri.

    Kata simbah-simbah kita dulu. "Urip iku yuk pada mat sinamatan". 

    Mungkin dalam benak kita orang lain lebih kaya, tapi juga belum tentu dia lebih bahagia dari kita. 

    Begitupun kita, meskipun sudah berpangkat, sudah kecukupan segalanya, belum tentu diri kita lebih baik di hadapan Sang Pencipta dari orang lain yang sepertinya sederhana dan tidak pamer ibadahnya, tapi istiqomah hidupnya penuh kepasrahan kepada Allah.

    Sehingga sering kali kita diajak untuk tawadhu' untuk melihat kebaikan orang lain. Dan dari kebaikan orang lain itu, kita jadi merasa terpacu untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

    Kalau kacamata kita untuk memandang orang lain hanyalah kacamata keirian, kesombongan, dan rasa merendahkan. Yang ada hanyalah kebangkrutan diri sendiri. Karena justru perasaan seperti itu hanya membawa pada rasa tidak tenang, rasa keserakahan dan ketidakadilan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

    Dalam pepatah yang lain orang Jawa punya keyakinan bahwa hidup itu pasang surut, seperti "cakra manggilingan", sebuah roda yang berputar terus tiada berhenti. Berputar dari atas untuk kebawah, dan dari bawah merangkak untuk ke atas, tanpa putus-putusnya. 

    Ada kalanya menangis untuk bahagia, ada kalanya menangis itu karena sedih. Itulah sebabnya, yang pokok bukanlah rasa "sesongah sesongaran", kehendak menang sendiri. Karena dalam kondisi kesedihan kita butuh teman--atawa orang lain. Pun demikan untuk bahagia kita juga butuh sanak saudara dan para tetangga, agar kebahagiaan itu punya arti yang lebih bermakna.

    Menarik dua pepatah ini dalam konteks kekinian, tentu sangat banyak contohnya. Termasuk bagaimana bangsa ini menilai Pancasila, Khilafah atau Sistem Liberal. Dalam menilai Pancasila, lebih baik kita berbaik sangka saja. Sebab yang kita puji dari khilafah belum tentu pas dan cocok untuk konteks kemajemukan di Indonesia. Kita pula jangan merasa mengunggulkan demokrasi liberal ala Barat atau Amerika itu. Mereka berhasil dengan liberalismenya karena perjalanan panjang yang tentu menjadikan manusia-manusia mereka menganggap bahwa hak-hak kemanusiaan lebih tinggi. Sementara bagi konteks ke-Indonesia-an, berlebih-lebihan soal HAM sangat baik dan juga tidak baik. Karena asasi manusia Indonesia luas dan universal. Akan tetapi, tetap berpegang pada asas-asas dan norma-norma Timur yang religius ber-Ketuhanan dan menganggap moral sebagai pranata sosial yang hidup dan harus dipelihara. Karena dari moralah, orang-orang Timur bisa menata arus sosialnya lebih berkeadaban dan teratur.

    Kalau kita mau lebih nlenggono, lebih bertoleransi mengartikan Indonesia dalam konteks jati dirinya. Mendekat pada identitas Indonesia yang sesungguhnya. Sebenarnya kita tidak akan mudah berkeras hati untuk saling merasa benar satu sama lain, terutama ketika memilah manfaat negara Pancasila apa negara agama. Sebab kalau di tengok ke dalam, dalam Pancasila maupun UUD 1945, negara Indonesia adalah negara agama. Dan itu dapat di ejawantahkan oleh seluruh umat beragama. Misalnya orang Islam memandang bahwa sila pertama Pancasila bersumber dari Islam, maka sejatinya Indonesia adalah negara Islam. Dan tugas orang Islam dalam konteks bernegara ialah, berlomba-lomba mengimplementasikan nilai-nilai Islam agar menciptakan tatanan sosial yang Islami tanpa harus merubah konstitusi dengan bunyi-bunyi yang ke-Islam-islaman. Cukuplah kita menerapkan Islam secara kontekstual dan substansial semampu zaman mentoleransinya.

    Jika cara pandang kita hanya sebatas kearah identitas, yang ada cuman perbenturan ekstrim. Perbenturan yang merugikan komitmen bernegara. Kita membangun negara ini adalah untuk semua, karena manusia sama-sama ciptaan-Nya. Dapur perbedaan memang fitrah, dan tugas kita ialah menciptakan rahmah dari perbedaan dengan saling bertoleransi satu sama lain untuk tidak menang-menangan. Karena konstalasi kalah menang, kuat dan lemah, pemangsa dan dimangsa, pada saatnya akan menemukan momentum kesialannya.

    Singa binatang buas, tapi semakin tua umurnya, maka kemungkinannya untuk memangsa musuhnya akan semakin kecil. Walhasil dia bisa mati kelaparan.

    Maka hidup itu harus fleksibel dan terus dijaga konsistensi kelapangan energinya untuk lebih banyak bahagia, ketimbang sedihnya. Agar saat jadi pemangsa, maupun saat jadi orang biasa, kita siap dan tidak terkaget-kaget. Tidak sampek jadi manusia yang stress, dan tidak mudah terkena sindrom kematian mendadak. Tentu, kematian yang dimaksud bisa bermakna konotatif atau bahkan bermakna lugas.

    Selamat Pagi.
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar