Edisi Nasionalisme
Namanya saja warung kami,
jelas beda sama warung kita, beda sama warungku, dan sangat beda dengan
warungmu atau warung mereka. Dengan menggunakan kaidah sebab akibat, saya boleh
katakan juga bahwa obrolan warung kami juga ada bedanya dengan warung-warung
lainnya. Tapi untuk soal perabot dan syarat-syarat warung, saya yakin semua
warung tidak jauh beda. Boleh beda daganggannya, tapi prinsipnya tetap jual
beli.
So, saya awali obrolan
warung kami yang pertama soal hal-hal yang ringan-ringan saja. Nggak usah
sampek ndelosor-ndelosor, atau ketinggian kayak cerita cebol yang ingin memetik
bintang. Sampek-sampek karena saking pengennya, dia jadi ndak dapet apa-apa.
Kalau kamu lupa soal cerita cebol. Di ingat-ingat lagi saja. Soalnya saya juga
dapet cerita itu pas kelas dua SD.
Okelah kita mulai saja,
nggak usah kebanyakan bolak-balik kata.
Tempo hari ceritanya di
desa kami ada pengajian, yang membuat para ibuk-ibuk muslimat yang suka
pengajian rutin tiap Jum’at. Semacam arisan begitu lah. Meskipun, sebenarnya
tidak ada yang istimewa, yah biasa saja kayak pengajian umumnya. Tapi perlu
saya ceritakan sebagai pengantar isi dari orolan warung ini.
Yang namanya orang desakan
kohesi (keraketan) sosialnya kan masih bagus. Jadi kalau ada pengajian, pasti
semua ikut nyonggo (memikul). Masing-masing warga biasanya bawa jajan nyumbang,
di taruh di rumah bu Nyai-nya. Nanti kalau sudah terkumpul banyak, bisa
digunakan dan dibagikan pas acara pengajian, sebagai berkatannya.
Kalau yang satu ini
sengaja harus ditampilkan buat menunjukkan bahwa warga kami guyub rukun dan berdikari soal apa saja.
Karena nyatanya, nggak perlu pakai proposal buat acara apa saja bisa
kelaksanan, dan nggak perlu rapat yang neko-neko cari sponsor. Inilah khasnya
orang desa, bermental mental surviver, nggak bakat deh buat jadi tukang
ngemis—kalau bahasa kerennya.
Singkat kata, pengajian
itu ternyatanya menghasilkan obrolan ringan di warung kami. Karena ada hal yang
di luar adat. Biasanya kalau pengaian rundownnya itu yang seputar sholawatan,
sambutan-sambutan dan kemudian tausiyah dari Romo Kyai. Tapi kali ini ada
sedikit inovasi. Apa inovasinya ? Inilah yang Bapak-bapak nahdiyin yang ikut
berdiri pas pembukaan acara.
“Wah, sekarang kalau
pengajian, pakai nyanyi Indonesia Raya ya. Kog dungaren. Untung saya masih hapal lirik lagunya”
Dengan berbicara begitu
bukan berarti mereka nggak setuju. Tapi karena ini barang baru, pemandangannya
akan eksotis jika dibicarakan, dikupas atau dikuliti setajam silet. Soalnya
kebiasaan di kami, kalo ada hal-hal baru dan hal itu bagus, maka sedikit saja
diajarkan pasti diamalkan selama-lamanya.
Mudahkan kalau
berkomunikasi dengan orang desa, banyak nurutnya dan nggak suka tanya dalilnya
apa ? Qur’an apa Hadist ? Soheh apa Dhaif ? Semua itu nggak ada di kami. Lagi
pula, nanti dibilang keminter kalo tanya yang aneh-aneh kayak gitu. Wong Alif
bengkong saja nggak ngerti, mau tau kayak gitu. Di bilang kurang sahur nanti.
“Ini, paling gara-gara,
negara sering geger. Jadi agar negaranya bisa ayem, lagu Indonesia Raya harus
ikut pengajian-pengajian. Biar kesawaban berkah para Kyai mungkin.”
“Yang geger kan Jakarta.
Kenapa sini harus bingung dan Indonesia Raya-nya dibawa-bawa kesini. Di Jakarta
sana kan sudah cukup.”
“Eh…nggak boleh begitu,
Pak. Nasionalisme itu penting. Kalau Ibu-Ibu dan Bapak-bapak ngerti
nasionalisme, nanti anak-anaknya pasti ketularan nasionalis.”
“Panganan apa itu
nasionalisme ?”
Jadi ceritanya, orang
desa kami nggak kenal masalah nasionalisme. Mereka kenalnya Nasional. Pun
begitu, mereka kenal nasional itu karena sempet jadi merk radio yang tahan lama
dan awet di era Suharto. Jadi kalo bicara sama orang desa kami jangan pakai
bahasa yang sulit-sulit.
“Nasionalisme itu gini
lho, Pak. Orang yang siap membela negara kapanpun juga, kalo negara perang. Dan
gak mau mecah belah negara. Kita ini kan contoh orang yang nasionalisme to Pak.
Nggak pernah mikir negara tapi juga nggak ngributin negara.”
“Oh…itu tho. Perang ?”
Wah nyantolnya di kata
perang nih.
Lanjutnya. “Kalo perang,
aku walau begini berani lho, Mas. Kalau aku dikasih senjata siap 100 %, nggak
bakal mundur. Emang mau perang sama siapa ? Apa Malaysia pethita-pethithi ta sekarang ?. Saya siap kog Mas, kalo mau ngroyok
Malaysia. Wong negara secuil-e Indonesia, kog suaranya kebanteran. Dikencingi bareng-bareng
kapok nanti !”
Oh… begitu ya. Ternyata
walau nggak ngerti sana-sana. Nasionalisme orang desa itu tersinggung kalau
nyangkut Malaysia. Maklum, kita tahunya kan soal siaran sepak bola, yang selalu
sengit kalau musuhan sama Malaysia. Kan, rekor kita sering kalah. Lagi pula kenapa
kita sering sentimen buruk sama Malaysia. Soalnya negara tetangga kita itu
merupakan saudara sedarah—sampek Bung Karno sendiri nggak rela kalau saudara
kita itu nggandol sama Inggris. Dan tahu sendiri kan Bharatayudha itu seru kan
karena pertengkaran satu keturunan Bharata. Jadi sesama keluarga Melayu, kalau
sering eker sih biasa. Tapi setelahnya kan akur lagi. Sebagai bangsa kita
sayang kog ama adek kita Malaysia, tapi jangan sok lebih hebat ya, nanti
kuwalat baru tahu rasa.
Lak gitu to. Bravo
Nasionalisme !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar