• KATARSIS


    Saya diingatkan kembali pada istilah katarsis, setelah beberapa lama tenggelam gara-gara dianggap tidak terlalu manis.

    Ingatan saya itu muncul setelah saya mendengar satu potongan kalimat yang bunyinya begini :

    "Semua anak harus berkelahi agar mereka tumbuh lebih dewasa."

    Saya merasa kalimat itu cocok untuk saya kais. Terutama karena saya belum dewasa dan masih tarik ulur untuk menemukan ladang perkelahian yang lebih cocok di kemudian.

    Mungkin penyakit dilema. Antara cari beasiswa atau cari kerja teramat saya dalami. Hingga tak beranjak dewasa.

    Next. Fokus saya tidak pada topik ini. Tapi saya ingin menegasikan kalimat ini dalam pertanyaan juga. Soalnya akhir-akhir ini panggung perkelahian kita lebih ramai di dominasi oleh anak-anak beruban. Atau kalau disebut layak. Mereka yang berkelahi adalah orang-orang dewasa dalam duduk indikator usia.

    Anehnya justru, anak-anak sekarang, tidak merasa nyaman jika harus berkelahi dengan sesama sebayanya. Saya sendiri merasa, bahwa selama ini sebagai anak. Saya memilih aman agar terkesan sebagai anak baik versi saya.

    Terutama di saat kuliah, saya lebih cenderung mengalah pada diri saya sendiri, dan tidak terlalu ngotot untuk memperadukan pikiran saya pada bidang ilmu yang saya geluti. Saya tak suka berkelahi pada medan itu.

    Saya tahu itu sangat salah. Dan kekalahan sebelum bertanding sangatlah memalukan. Mungkin saya lebih sentimen untuk menjadi pengganggu yang tidak konsisten pada medan yang lain. Sehingga perkelahiaan yang saya pilih jadi kabur.

    Entahlah semua sudah berlalu. Dan kalau dunia sudah mengalami pergeseran, itu bukan sesuatu yang istimewa juga.

    Tapi semakin saya buka memori tentang katarsis. Saya jadi terhenyak untuk mengambil nilainya.
    Katarsis memang butuh mental dan kedewasaan. Harus ada kejujuran dan kelegowoan.

    Karena, di saat kulminasi masalah bertumpuk. Di kala orang-orang dewasa senang berkelahi. Barangkali katarsis bisa diajukan sebagai alternatif penyelesaian.

    Dalam katarsis, semua pihak duduk dalam satu forum. Mereka membicarakan suatu masalah. Ini adalah semacam forum curhat, tapi curhat versi kejujuran. Setiap orang boleh menumpahkan seluruh uneg-unegnya, agar saling plong. Dalam dasar penghayatan orang Jawa, katarsis memang menyakitkan.

    Karena orang berhadap-hadapan boleh langsung bilang apa adanya, blaka suto. Kalau kecewa bilang saja kecewa. Kalau memuji, pujilah langsung setinggi-tingginya.

    Sehingga mau tidak mau, ada yang harus mati. Dan yang mati ini bukan penjahat, tapi pahlawan penyelamat yang secara gentel berani untuk terpental. Berani jadi tumbal untuk mengatasi masalah. Kalau istilah pegadaian : "mengatasi masalah tanpa masalah" baru, tanpa masalah lama akan dibaru-barukan. Soalnya tren kita kan sukanya membuka-buka masalah lama untuk jadi sarapan esok hari yang seolah tidak bertentangan dengan akhlak kewelas asihan dan kebersihan alam berpikir.

    Hanya memang struktur hierarki dalam katarsis berperan penting. Yang namanya orang tengah. Orang besar. Orang yang teduh diperlukan. Agar keputusan katarsis adalah komitmen bersama yang dijaga bareng-bareng. Sayangnya, di Indonesia ini, kita tidak punya struktur herarki dimana ada satu orang yang kita terima sebagai simbol pengayom segalanya.

    Presiden kita mungkin adalah kepala negara. Tapi bagi pendukung oposan mungkin dia hanya dianggap sebagai kepala pemerintahan saja yang selevel dengan anggota DPR atau Ketua lembaga yudikatif.

    Dimanapun juga. Di samping keseimbangan diciptakan melalui sistem cek and balance, perlu pula ada figur representatif yang tengah. Figur yang bukan lagi cek and balance. Melainkan seorang pengayom, peneduh, dan Bapak dari semua anak-anaknya, baik yang nakal suka teriak pakai sorban, maupun yang nakal karena rakus membikin apartemen layaknya kerajaan dalam negara.

    Tulisan ini pada akhirnya memang menjadi anti klimaks. But, thanks and love you full. Pengalaman katarsis sangat berharga menjadikanku sebagai orang yang rewel sampai hari ini dengan irasionalitas yang melekat pada kekurangan yang kumiliki. [ * ]
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar