• Sinta Diculik Atas Dasar Religiusitas Wangsit Dewa


    “Buto, brangasan. Dur angkara, dan dikenal kejem sak ndonya. Itulah kesan seorang Rahwana di dalam kisah epik Ramayana.”


    Jangan perkarakan Sinta.

    “Kalau, aku menculik Sinta semata-mata karenaku. Wibisana, kau boleh protes padaku” nada suara Rahwana mengeras, matanya membelalak mulai memerah. “Aku hanya menginginkan kejayaan negeriku. Dan dewa memberiku wangsit, yang jelas-jelas isinya seperti itu.”

    Wibisana yang terkenal cerdas itu niatnya mengingatkan, tapi kakaknya itu sudah tidak bisa dinasehati.

    “Iki wangsit lho. Ora main-main iki. Kalau kamu menganggap bahwa itu salah. Salahkan Dewa yang memberikan wangsit”, raja yang dikenal angkara itu—ternyata berlandasan pada pijakan religiusitas. Walau sangat tidak kritis.

    “Tapi kakanda.” Sela si Adik.

    “Sudahlah Wibisana. Aku bukan Raja bodoh. Apa yang ingin kau katakan aku sudah tahu. Tak perlu kau gurui.”

    Wibisana terdiam.

    “Kau ingin berkatakan, kalau Sinta adalah istri orang. Tak sepatutnya aku mencurinya. Aku tahu itu.”

    Kumbakarna ikut menyela. “Kakang harus berfikir. Di depan mata ada ancaman perang.”

    “Kau pikir, Rahwana takut dengan Rama dan bala tentara keranya.”

    “Kakang.”

    Ruang itu menjadi penuh letupan amarah Rahwana. Sinta adalah urusannya, ia mungkin punya ambisi cinta. Tapi motif utama Rahwana adalah kejayaan negerinya.

    Entah bagaimana hingga sebuah wangsit itu jatuh dan membisikkan hal seperti itu. Tapi, kata Wibisana.

    “Kakang keliru memahami wangsit itu. Kejayaan memperistri Sinta tidak harus diwujudkan secara fisik. Tapi bisa dengan cara untuk menjalin kerjasama imbal balik yang saling menguntungkan antara Ayodya dan Ngalengka.”

    Toh, watak begis si penafsir wangsit itu sudah kelewat ekstrim dan tidak bisa di langgapi lebih jauh.

    ***

    Jeda panjang antara musim kemarau dan berputar kembali menjelang musim paceklik tersebut menjadi gong penanda usainya renovasi bangunan istana negeri Ngalengkodirojo.

    Bebungah, keramaianpun diselenggarakan untuk meresmikan kesuksesan pembangun—yang menurut kaca mata Rahwana menandakan bahwa kejayaan negerinya berada di genggaman tangan.

    Kerusakan dahsyat yang disebabkan oleh kobaran api akibat ulah Anoman nyatanya tidak membuat negerinya bangkrut dan hancur. Justru istana barunya ini, kini tampil lebih mewah dan mengah dengan penambahan ornamen-ornamen serta pernak-pernik yang mengikuti gaya aktual, sebagaimana selera Sri Maharaja Rahwana yang suka pamer kekayaan.

    Sampai detik itu. Rahwana tidak begitu merasa cemas akan ancaman Rama—yang berada di seberang lautan jauh, dan berdasar hitung-hitungan militer. Amat mustahil bala tentara Rama yang menyebrang untuk menyerang akan memiliki jumlah yang besar dan kemampuan yang memadai melawan pasukan artileri buto-buto Ngalengko.

    Barulah—setelah beberapa minggu dari pesta peresmian itu, seorang buto telik sandi menghadap dan mewartakan ancaman nyata. Dan itu terekam oleh kesaksian banyak nelayan yang berlayar mendekati pesisir pulau di utara. Agenda luar biasa, membendung samudra oleh Sri Rama sedang digalakan di pesisir pulau seberang.

    Mendegar itu. Segera, seluruh saudara dan kelengkapan negeri Ngalengko menghadap sowan di bangsal kencono. Dua saudara, Kumbakarno dan Gunawan duduk berjajar di samping dampar kencono Rahwana. Sedangkan saudara putrinya, Sarpokenoko berada di belakang dampar. Semua abdi sudah lengkap menghadap, termasuk Indrajit, Trisirah, dan Patih Prahasto juga tidak ketinggalan. Dimulailah pasamuan agung itu, sebagai rapat darurat negeri Ngalengko.

    ***


    disarikan dari Lakon Rama Tambak oleh Ki Manteb Sudarsono
    to be continued…
  • You might also like

    1 komentar:

    1. Mohon ijin lukisan Rahwana Sinta & Jatayu diatas saya lukis di atas alat olahraga bumerang ya pak 🙏 wa sy 081329028519. Baru rencana ini pak. Suwuun

      BalasHapus