• SULITNYA NGATUR ANAKKE KANG MIN


    Dulu, waktu kecil, kalau ada anak kog nakal, usil sama temannya, diancam, “Ngko tak kandakno Bapakmu, lho” saja sudah nurut dan takut. Tapi, waktu melompat-lompat begitu cepat. Ancaman semacam itu sekarang sudah menjadi abab, tak laku dan kadang Bapak sendiri tak ditakuti nasehatnya. Entah karena terlalu dimanjakan atau pengaruh eksternal lainnya.

    Keresahan yang bisa dibilang tidak terlalu mengancam tapi agak merepotkan ialah tingkah polah anak muda di Desa yang sekarang ini hampir lepas, dan sulit di kontrol oleh sembur tuturnya Bapak Ibu.

    Katanya, “Cah nom saiki kog, ya kudu ngene. Gaul Bro.”

    Tapi alih-alih kesal, jawaban para Bapak hanya sebuah umpatan kecil yang tak akan berarti apa-apa.

    “Bocahi angger nduwe buntut urang ya ngunuku. Dikandani mbegedut”

    Menyitir pernyataan Ki Manteb Sudarsono, katanya “Lakon wayang saiki iku, anut jaman kalakone”. Artinya perubahan karena terdorong arus adalah kenyataan, dan penyesuain-penyesuian harus dilakukan tanpa boleh menghilangkan substansi dasar dari kehidupan itu sendiri.

    Itulah sebabnya, kalau dulu seorang anak takut kepada Bapak atas alasan keseganan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Saat ini, zaman total berubah, dan pendekatan feodal itu tidak bisa diterapkan lagi.

    Kalau seorang anak yang tidak pernah mendapat arahan konkrit dari Bapaknya, pada tempo dulu bisa taat hanya karena sendoran, atau bentakan. Kini, semua itu jika diterapkan hanya akan menggoreskan luka hati yang dalam, bagi memori sang anak. Contoh kasusnya—ada kejadian dimana seorang anak berani mengangkat bendo, arit, dan hal lainnya karena tukaran alias marahan sama orang tuanya.

    “Cah, saiki iku nek diseneni malah wani.”

    “Iya, Kang, bocah saiki iku wis pada pinter madoni”.

    Karena sudah pada pandai mencari-cari alasan, maka metode dan pendekatan pendidikan di lingkungan keluarga, dan di lingkungan tempat tinggal harus direvitalisasi dengan pendekatan yang berbeda. Itulah mungkin, penting adanya pendidikan bagi generasi selanjutnya. Bahwa berumah tangga tidak boleh hanya sekadar modal saham harta, ketampanan, rasa cinta, atau akibat untuk menutupi aib. Modal utama yang tak boleh di tinggal iya, kompetensi pendidikan kepengasuhan, kasih sayang, dan tentu sudah memiliki road map pilihan-pilihan apa yang baik untuk masa depan anak-anaknya.

    “Tapi, yo ora kabeh Kang. Ono kog, sing iseh iso dikendaleni.”

    “Iya, tapi titeni ae. Angger Jemuah Legi wetone, mecah jarak lahire, angger unyen-unyenge loro, nduwe bunthut urang. Wis iso di titeni, gedhene koyok apa.”

    Kalau kalimat terakhir ini direspon, maka respon yang cocok hanya satu.

    “Ndak iyo leh”, karena ini sangkut pautnya dengan keyakinan setempat.

    “Saiki lho Kang, sekolah larange mboh. Deso ya ora ngekei Kartu Pinter. Bocahe mbedik, gak gelem sinau. Klayapan ae, nek gak tengah wengi urung muleh. Njalukan duwit. Sedino iku lho duwit rong puloh ewu camut-camut, ijeh njaluk neh. Rumangsane iso nyetak duwit dewe ta piye.”

    Tapi, keresahan itu dirasakan orang tua, terutama ke anak laki-laki mereka yang lagi giat-giatnya mencari jati dirinya. Entah jati diri yang semacam apa, karena lingkungan sangat begitu labil meracuni.

    Di desa, sangat berlaku nasehat para Kyai, “Kumpulono wong kang soleh, cekne ketularan alim e”.
    Di lingkungan remaja putri, hampir sangat kecil terjadi masalah seperti itu. Yang saya amati, mayoritas mereka adalah Kartini yang baik. Mulai menikah di kisaran angka lulusan SMP. Serta, yang teranyar, generasi yang baru memang berkesempatan untuk sekolah sampai SMA. Dan ini menunjukkan bahwa pendidikan berperan penting menunda pernikahan dini di desa-desa.

    “Coba, wingi ana ndangdut ya malah omben-ombenan.”

    “Anakke Kang Min, malah melu tukaran jare. Angel dipisah, teler, ora karu-karuan, nganti Mbahe wedok, metentang-metenteng ape mlebu kandangan diglandang anake.”

    “Mbuh….mbuh”

    Sebuah suara agak sinis memungkasi. “Koyok, ora tau dadi wong nom ae.”

    Dan seperti kopi yang selalu menyisakan ampas dalam gelas. Setiap obrolan tak akan bersih dari hal tersebut, tak perlu tuntas dihabiskan dalam kata-kata. Kalau kurang, karena berampas, kurang bernas, biarkan saja itu melekat pada gelasnya, pada ketakmampuan penulisnya.

    Karena selera kopi, maka hitamnya kopi Jawa tetap akan nikmat dipadukan dengan gula khasanah Indonesia.

    Bukan begitu sobat !
    ***

    Note: Fokus pada kasus khusus, di tempat tertentu, dan tidak bermaksud melakukan generalisasi.
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar