Ibunya
pernah bercerita. Karena saking sayangnya kepada anak, di detik-detik menjelang
ajal, sang Bapak masih bisa berpesan kepada Ibunya.
“Di
pembaringan rumah sakit, dengan kondisi yang sudah tak bisa diharapkan lagi.
Bapakmu, berpesan Le.”
Demi
anak satu-satunya.
“Bu,
jika Bagus memang butuh. Jual saja sawah Bapak. Kuliahkan dia, sampai dia
benar-benar sukses.”
Tak
hanya sebatas itu. Sang Bapak dengan suara yang makin pelan kala itu. Ia masih
dengan susah payah mencoba mendekatkan mulutnya ke telinga si Ibu, agar pesan
terakhir ini dapat ditunaikan tanpa salah sedikitpun.
“Jangan
jadikan ia, seperti Bapak. Anakku itu jangan jadikan sebagai petani Bu. Jangan
ya, Bu”, sambil menitikan air mata perpisahannya yang terakhir.
Itulah,
asal muasal, kenapa Warsito sekarang kita kenal sebagai seorang anggota Dewan
yang terhormat. Ternyata, semua berkat kerelaan sang Bapak, yang memutuskan
untuk tidak melanjutkan garis kehormatan, profesi mulia sebagai seorang petani.
***
Sebagai
orang yang berjuang dari nol, Warsito memiliki nilai lebih. Kesuksesan yang ia
raih tak lepas dari kerja kerasnya, kegigihannya yang tak pernah absen dari 3
besar sekolah ketika masih sekolah. Dan rekam jejak akademiknya terbilang
gemilang. Ia lulus Sarjana dengan predikat Cumlaude, dan kemudian karirnya ia
mulai sebagai seorang wartawan di perusahaan koran ternama. Dari situlah
akhirnya ia beranjak menjadi seorang pimpinan redaksi, dan akhirnya melenggang
ke senayan berbekal raihan yang ia peroleh. Di desanya, ia terkenal murah hati,
karena banyak anak lulusan SMA yang berhasil ia bawa—ia rubah hidupnya—meninggalkan
gelimang kesusahan. Warsitolah pahlawan pemutus garis miskin—ia pemutus trah
petani, utamanya untuk Desa Landoh.
***
Apa
arti profesi mulia. Dalam sebuah seminar yang ia isi, sebagai pembicaranya. Ia
berkata.
“Ayah
saya, adalah petani mulia. Walau kami serba pas-pasan. Tapi kerja keras, dan
semangat pantang menyerahnya, telah mengilhami saya, hingga pada pencapaian hari
ini. Begitupun Ibu saya, ia adalah seorang Ibu yang setia. Selalu mendukung
Bapak dengan keterbatasan ekonomi keluarganya. Ibu saya, sangat pandai
memanajemen uang yang serba pas-pasan. Dan saya belajar banyak. Saya menerapkan
manajemen Ibu, ketika saya masih berkuliah, termasuk hingga hari ini. Itulah
modal agar orang bisa sukses.”
Tapi,
tak disangka. Deklamasi manis Warsito ada yang menyanggah.
“Apakah
Bapak bisa bertani dan punya sawah ?”
Dengan
senyum kecut, ia terkejut. Walau tak perlu rasa malu untuk mengakui kenyataan.
“Bapak
saya yang bisa bertani. Sepeninggal beliau, sawah kami di jual. Dan Bapak saya
lebih menghendaki saya menjadi orang seperti sekarang. Saya tak bisa bertani.
Tak apa-apa, tak bisa bertani. Tapi kalau bisa pasti saya akan jadi petani.
Sayang, saya tidak bisa.”
***
Dalam
kunjungan kerja sebagai anggota Dewan yang membidangi masalah kemiskinan,
urusan pangan dan pendidikan. Warsito sempat terkaget.
“Petani
merugi Pak ?”
“Kenapa
?”
“Ternyata
ada permainan, para tengkulak. Harga gabah jatuh Pak pada musim ini.”
“Sebabnya
apa ?”
“Dua
minggu lalu ada yang lobi Kemendag, dan izin impor beras dikeluarkan. Mereka
berdalih ini beras untuk kualitas premium.”
Warsito
yang mendengar laporan itu, ia tertunduk diam, sembari kembali mengingat-ingat
cerita Ibunya.
“Mungkin
wasiat Bapak ada benarnya. Petani tak dipedulikan, hingga terlalu dekat dengan
kemiskinan.”, gerutunya dalam hati.
“Sabar
Pak, kami akan menyelidikinya.”
Sejak
lama, petani bersabar dan bersabar, sembari menunggu keberpihakan. Tapi tak
kunjung datang juga keberpihakan itu.
“Sabar….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar