• Lelaki Itu




    Tak menunggu lama, lelaki itu kemudian mengangkat kopernya, menjinjing tas dan mengunci pintu kamarnya. Ia kemudian memasuki kabut putih yang menjemput di depan pintu kamar itu. Dan hari tiba-tiba saja sudah mulai gelap. Dari ujung menara, suara speaker masjid terseru kumandang adzan, penanda malam menjelang.

    ***

    Ketika ia memutuskan mengunci pintu itu, ada satu benda yang sengaja ia tinggalkan di dalam kamar. Jika dicari, memang tidak akan ada benda menarik yang bisa di sebut sebagai barang peninggalan. Akan tetapi, rahasia itu adalah misteri yang hanya ia ketahui sendiri. Walau ia sudah yakin tak akan kembali ke tempat itu lagi.

    Ia tak berniat untuk menunjukkan kepada siapapun, tentang apa yang telah ia tinggalkan di tempat itu.


    ***

    “Aku, punya firasat.” Ujarnya terpotong di meja kedai itu.

    Noh, sang teman tak tertarik untuk mengejar pernyataan temannya itu. Tapi Noh, merasa sedih, ketika laki-laki itu tidak berterus terang saja, kalau dirinya harus menghilang tak lama berselang setelah pertemuan mereka itu.

    Lelaki itu bertanya.

    “Adakah sahabat yang lebih dekat dari urat nadi, dan lebih sayang dari hembusan nafas.”

    Noh, tertawa.

    “Kamu bicara apa ?”

    Yang jelas, Noh tidak akan sedatar itu, jika di bandingkan dengan hari biasanya.

    “Di antara keramaian ini, adakah sahabat yang lebih setia kecuali kalbu yang stay-on kala suka maupun duka ?”

    “Ah, nggak usah bertanya yang aneh-aneh lah.”

    Memang, malam itu, ia tampak berbeda. Sepertinya, ada pengaruh yang kuat, yang konon menyebabkan kehendak hatinya gundah.

    Dan tiba-tiba saja ia nyeletuk lagi. “Hijrah, apakah makna hijrah itu ?”

    Giliran Noh baru serius.

    “Aku dalam awang kasat mata, di terawang lubuk kalbu, dari suara misteri yang berdengung pada telinga, dan dari rasa yang meraba.”

    Lanjutnya, “Aku : “Hijrah. Akan hijrah.”. Iya, betul.”


    ***

    Di balik semak belukar, di dalam rimba hutan yang baru terbakar. Dari sanalah ia kemudian menampakkan dirinya, setelah tenggelam dalam kabut. Di tempat itu, ia melihat asap kecil-kecil yang masih mengepul. Ia sendari abai, walau tetap harus merasakan bau-bau bekas pembakaran yang menusuk hidung. Termasuk ketika ia tak sadar, bahwa dirinya sendiri gosong, hitam legam. Turut terhanyut dalam bagian kebakaran hutan itu.

    Kini, ia tak hanya baru, tapi juga akan merasakan sunyi yang baru. Sunyi yang lebih buruk dari kesunyian 4 tahun lalu, 3 tahun lalu, atau beberapa bulan yang lalu.

    “Kau sudah dewasa anakku”, sebuah suara itu datang tiba-tiba.

    “Kau sudah dewasa”, suara itu memanggil-manggil sampai tiga kali. Dan ia tetap tidak berpaling.

    Tak dinyana. Gemanya makin mendekat. Dan iapun membalikkan badan.
    “Inilah, Kalijaga. Kali yang berarti zaman, jaga yang berarti menjaga.”

    Itulah Gurunya.

    ***
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar