Sempet sekali waktu saya ikut ngelesi—untuk nyambung isi saku bertahan di Surabaya. Dari ngelesi itu, pada sebuah momentum yang masih saya ingat. Kalo tidak keliru ada selapis legit nasihat seorang simbah kepada cucunya yang kebetulan saya ajar.
"Sing pinter. SMP-ne negeri, SMA-ne kudu negeri" begitulah nasihat itu, yang saya balas dengan nada senyum.
Sempet melalui nasehat itu, saya menyimpulkan pendek bahwa peristiwa "ngelesi" dan "dilesi" adalah timbal balik yang menyakitkan juga, ketika dilema pendidikan kita ibarat transaksi di belantara luas, karena mencari sekolah kenyataannya memang harus rebutan. Dan itu mengingatkan saya pada dialektika susah sedihnya dulu—kalo mengingat-ingat dialog perjuangan anak Desa yang hendak masuk Perguruan Tinggi melalui SNMPTN Undangan.
Kota dan desa memang dua yang berbeda. Yang satu ibarat kereta kuda, yang satu adalah deretan gerbong kereta yang ditarik laju mengikuti gaya kehidupan mutakhir.
Dan kini ceritanya ialah ketika adik saya yang SD ini harus bertandang ke rumah tetangga minta diajari untuk mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, sewaktu saya di Surabaya.
Diakui saja memang kenyataannya ialah bahwa Ibu-ibu di desa memang tidak dilahirkan terpelajar untuk masalah tetek mbengek persekolahan. Mereka umumnya lahir dari ijazah-ijazah yang tidak tinggi, sementara materi anak sekolah sekarang makin hari, makin sulit--makin tak dapat dikerjakan dengan satu hitungan jari Matematika kasar.
Saya sendiri sempat mikir. Saya bayangkan bagaimana jadinya nanti kalau adik saya sudah SMP. Siapa yang akan ngajari dia, kalau saya dapat pekerjaan yang jauh dari rumah. Dan mungkin, saya terlalu naif, karena yang saya pikirkan adalah adik saya. Bagaimana dengan teman-temannya anak-anak SMP lainnya ? Apakah akan ada pekerjaan les dan ngelesi di Desa? Ah.. itu terlalu materialis dan tak terjangkau dengan ukuran budaya "guyup" alias "gotong royongnya" wong ndeso.
Kalau boleh memuji, ternyata anak-anak desa yang bertahan sampai ke jenjang atas, sebenarnya nalurinya adalah anak-anak yang cerdas sejak lahir. Karena mereka bertahan hanya dengan otodidak belajar sendiri, dan itu terjadi secara tidak sadar hingga waktu membawanya pada puncak posisi.
Kenyataannya tanpa les dan perabot kelengkapan lainnya itu telah menyebabkan akal bebal menjadi akal encer. Sayapun turut melewati masa SMP hingga kuliah ini tanpa terasa begitu saja. Dan menelan materi-materi dengan bimbingan dari para pembantu Allah yang dikirimkan akibat kerja keras dan doa Ayah Ibu.
Tapi…saya juga harus sadar, bahwa mayoritas anak-anak membutuhkan sentuhan bantuan dan bimbingan orang tuanya. Karena materi sekolah yang makin lama makin susah itu tetap harus dihadapi. Dan ini akan menjadi dilemma bagi Bapak dan Ibunya jika tidak bisa membantu mengerjakan sulitnya PR anak-anaknya di sekolah.
Mungkin saya hendak menasehati diri sendiri bahwa sosok istri yang terbaik salah satunya memang harus mempertimbangkan aspek akademisnya. Karena sekolah adalah pasar dan kenyataan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar