Langit kusam terkuningi oleh penyinar cahaya yang
sudah dekat terlepas dalam jurang tepi samudra. Aku masih harus bercerita
tentang senja sore sekali lagi.
Kala dipelupuk mata rasanya klilip itu mengganggu, menyucurlah linangan air mata, sepertinya saja ada sesuatu di telinga yang tak kuasa mendengar semilir udara yang berbicara terengah-engah.
Soal kesentosaan mungkin saja banyak pembeda diantara kita melihatnya.
Sedikit saja aku berbisik : Mana ada sebuah kesentosaan, jika tetesan hujan tertahan basah di kolam atap rumah.
Saya harus sekali lagi mengusap air mata, dan pelataran masih jua tak lengket gembur disiram hujan.
Beban-beban. Oh.. beban masa, sekali salah sekali dua kalinya adalah kulminasi. Jangan terhenyak sejenak dalam santai.
Benar bahwa ketidaktahuan tidak akan dihakimi. Hanya tak seharusnya bagiku sore ini ikut terbenam pula, walau langit mulai kehilangan sorot.
Malam datang karena bumi memang tak hendak berhenti, pun bulan sabit menongkrong menjaga gelap di awang-awang sana. Aku tak akan menagih janji apa-apa dari malammu.
Kala dipelupuk mata rasanya klilip itu mengganggu, menyucurlah linangan air mata, sepertinya saja ada sesuatu di telinga yang tak kuasa mendengar semilir udara yang berbicara terengah-engah.
Soal kesentosaan mungkin saja banyak pembeda diantara kita melihatnya.
Sedikit saja aku berbisik : Mana ada sebuah kesentosaan, jika tetesan hujan tertahan basah di kolam atap rumah.
Saya harus sekali lagi mengusap air mata, dan pelataran masih jua tak lengket gembur disiram hujan.
Beban-beban. Oh.. beban masa, sekali salah sekali dua kalinya adalah kulminasi. Jangan terhenyak sejenak dalam santai.
Benar bahwa ketidaktahuan tidak akan dihakimi. Hanya tak seharusnya bagiku sore ini ikut terbenam pula, walau langit mulai kehilangan sorot.
Malam datang karena bumi memang tak hendak berhenti, pun bulan sabit menongkrong menjaga gelap di awang-awang sana. Aku tak akan menagih janji apa-apa dari malammu.
***
Proses Padi
Narasi berikutnya ini ialah sekedar catatan
pelengkap dari seri sebelumnya. Tidak ada sapi lagi atau kerbau, begitupun Semar
dan Pandawa. Tentunya narasi ini akan berbicara lain, dalam
konteks lain dan dari sisi perenungan yang lain.
Kalau saja boleh mengambil perumpamaan lagi, marilah belajar dari proses transformasi nilai benih padi yang ditanam oleh petani disawah. Proses dari benih menjadi tanaman yang asri hijau adalah sebuah tahapan pertama dimana padi bekerja dalam simbol kehidupan yang tinggi. Tahap ini ada semacam petunjuk bahwa kontinuitas tercermin di dalam. Padi tidak hanya hadir dalam eksistensinya sebagai tanaman pangan, melainkan nuansa hidupnya turut serta mewarnai kesan kedamaian bagi pranata alam.
Setelah tanaman padi menua, maka proses panen menandai kemenangan dari pada proses bercocok tanam. Perasaan petani yang berhasil memanen padi adalah ibarat menang dalam perang, meskipun terkadang hasil panen dirasa tidak cukup untuk menutup modal awal. Namun petani kita selalu menahan perasaannya dan memaknai panen sebagai proses bersuka ria menyambut karunia Tuhan yang luar biasa.
Melanjutkan tranformasi itu, agaknya kita akan panjang membahasnya namun saya hendak menyampaikan pokok-pokok singkat tentang proses perjuangan petani dalam memelihara padi-padinya.
Terkadang saja, kita orang modern tidak mengerti tentang sesaji yang ditempatkan di sawah itu fungsinya apa. Justru dengan prasangka buruk, kebanyakan cap syirik, penyembah setan dan sebagainya kita stigmakan. Inilah permusuhan yang dangkal.
Tidak perlu pula saya uraikan tentang pembelaan praktik sesaji di awal musim tanam itu. Anggap sajalah ini sebagai nilai jual, jika pemikiran kita tertuju pada pariwisata dan uang.
Berikutnya seiring dengan waktu maka pengairan atau suplai air sebagai sumber hidup bagi padi harus dijaga dan terjamin. Para petanipun kemudian mulai menutup pintu-pintu aliran air untuk meneguhkan bahwa masing-masing petak sawah mampu menahan air dalam beberapa bulan mendatang. Air ini adalah transformasi dasar, ibaratnya dia adalah ilmu utama untuk hidup. Konteks menutup aliran air bukan berarti menahan atau menolak ilmu, melainkan menangkap ilmu secukupnya saja untuk digunakan. Melakukan penguasaan ilmu itu semata-mata guna menghasilkan produksi yang optimal, maka perlulah pengaturan air dilakukan sebaik mungkin.
Sawah-sawah yang gagal menjamin air akan tumbang alias bisa menyebabkan gagal panen, minimal padi dapat berbuah jika tanah itu lembab dengan tekstur lengket alias gembur meski air tidak menggenang.
Jika kita kenal pupuk, obat pemberantas hama, kemudian perawatan mencabuti tanaman pengganggu dalam menyemai padi yang tumbuh. Inilah yang kita sebut sebagai metodelogi, sebuah konsep penataan yang memang dibutuhkan agar sesuatu itu dapat diandalkan atau minimal dapat diprediksi hasilnya. Pupuk adalah supporter energi ilmu. Pupuk disini bercampur dengan air menghasilkan asupan gizi bagi tanaman. Pupukpun harus digunakan dalam aturan primer dan sekunder agar nutrisi tanaman bertransformasi menjadi buah bukan menjadi daun.
Saat padi menguning, saat padi harus di panen, peristiwa ini adalah peristiwa yang menyangkut dua hal yakni yang pertama adalah syukur yang berwujud dalam prosesi doa sebelum panen dan ikhwal kedua adalah tentang menuai hasil. Hasil itu besar kecilnya tergantung pada proses, dan masyarakat tradisional kita memaknai proses itu sebagai jalinan sebab akibat vertikal sekaligus horisontal. Sekali lagi inilah alasan kenapa petani kita lebih terukur menahan perasaannya sebab panen pada dasarnya adalah anugrah dari berbagai pilihan yang mungkin terjadi.
Panen adalah step paling tinggi dari berbagai tahapan menanam itu sendiri. Jika ditarik dari berbagai tahapan, kita akan berjumpa dari kemungkinan pertama yakni tidak bisa menanam. Kemungkinan kedua adalah benih yang tumbuh sakit-sakitan. Berlanjut dengan halangan yang ditakutkan adalah gagal panen sebab bencana atau hama. Dari sini jelaslah bahwa panen merupakan tahapan tertinggi dari perjuangan yang berlipat-lipat, melalui intensitas petaruhan dalam ketidakpastian alam di waktu yang relatif panjang.
Setelah usai panen, di tempat-tempat dimana komunitas desa masih hidup rukun dalam gotong royong, dikenalah sedekah bumi. Sedekah bumi adalah ritual pesta bersama, memuji bumi, agar orang tidak kalap melupakan asal muasalnya. Dasar-dasar sedekah bumi sesungguhnya tidak terletak pada pestanya, tontonan dan kemeriahannya. Melainkan pada pembentukan kehidupan sosial yang harus harmonis. Tak ada orang kaya dan orang miskin. Sedekah bumi berupaya mempertemukan semua tanpa status tertentu.
Akhirnya transformasi padi ini tidak berhenti pada satu proses saja, melainkan panen yang menghasilkan tumpukan gabah itu nanti akan menuju ke penggilingan menjadi beras. Beraspun akan menjadi sesuatu yang baru dalam proses berikutnya, bisa bercampur sebagai tepung atau mungkin siap menjadi kekuatan energi dalam tubuh manusia sebagai nasi. Persoalannya memang padi di semai oleh para petani hebat, sudahkah kita me-metanikan hidup ini.
Kalau saja boleh mengambil perumpamaan lagi, marilah belajar dari proses transformasi nilai benih padi yang ditanam oleh petani disawah. Proses dari benih menjadi tanaman yang asri hijau adalah sebuah tahapan pertama dimana padi bekerja dalam simbol kehidupan yang tinggi. Tahap ini ada semacam petunjuk bahwa kontinuitas tercermin di dalam. Padi tidak hanya hadir dalam eksistensinya sebagai tanaman pangan, melainkan nuansa hidupnya turut serta mewarnai kesan kedamaian bagi pranata alam.
Setelah tanaman padi menua, maka proses panen menandai kemenangan dari pada proses bercocok tanam. Perasaan petani yang berhasil memanen padi adalah ibarat menang dalam perang, meskipun terkadang hasil panen dirasa tidak cukup untuk menutup modal awal. Namun petani kita selalu menahan perasaannya dan memaknai panen sebagai proses bersuka ria menyambut karunia Tuhan yang luar biasa.
Melanjutkan tranformasi itu, agaknya kita akan panjang membahasnya namun saya hendak menyampaikan pokok-pokok singkat tentang proses perjuangan petani dalam memelihara padi-padinya.
Terkadang saja, kita orang modern tidak mengerti tentang sesaji yang ditempatkan di sawah itu fungsinya apa. Justru dengan prasangka buruk, kebanyakan cap syirik, penyembah setan dan sebagainya kita stigmakan. Inilah permusuhan yang dangkal.
Tidak perlu pula saya uraikan tentang pembelaan praktik sesaji di awal musim tanam itu. Anggap sajalah ini sebagai nilai jual, jika pemikiran kita tertuju pada pariwisata dan uang.
Berikutnya seiring dengan waktu maka pengairan atau suplai air sebagai sumber hidup bagi padi harus dijaga dan terjamin. Para petanipun kemudian mulai menutup pintu-pintu aliran air untuk meneguhkan bahwa masing-masing petak sawah mampu menahan air dalam beberapa bulan mendatang. Air ini adalah transformasi dasar, ibaratnya dia adalah ilmu utama untuk hidup. Konteks menutup aliran air bukan berarti menahan atau menolak ilmu, melainkan menangkap ilmu secukupnya saja untuk digunakan. Melakukan penguasaan ilmu itu semata-mata guna menghasilkan produksi yang optimal, maka perlulah pengaturan air dilakukan sebaik mungkin.
Sawah-sawah yang gagal menjamin air akan tumbang alias bisa menyebabkan gagal panen, minimal padi dapat berbuah jika tanah itu lembab dengan tekstur lengket alias gembur meski air tidak menggenang.
Jika kita kenal pupuk, obat pemberantas hama, kemudian perawatan mencabuti tanaman pengganggu dalam menyemai padi yang tumbuh. Inilah yang kita sebut sebagai metodelogi, sebuah konsep penataan yang memang dibutuhkan agar sesuatu itu dapat diandalkan atau minimal dapat diprediksi hasilnya. Pupuk adalah supporter energi ilmu. Pupuk disini bercampur dengan air menghasilkan asupan gizi bagi tanaman. Pupukpun harus digunakan dalam aturan primer dan sekunder agar nutrisi tanaman bertransformasi menjadi buah bukan menjadi daun.
Saat padi menguning, saat padi harus di panen, peristiwa ini adalah peristiwa yang menyangkut dua hal yakni yang pertama adalah syukur yang berwujud dalam prosesi doa sebelum panen dan ikhwal kedua adalah tentang menuai hasil. Hasil itu besar kecilnya tergantung pada proses, dan masyarakat tradisional kita memaknai proses itu sebagai jalinan sebab akibat vertikal sekaligus horisontal. Sekali lagi inilah alasan kenapa petani kita lebih terukur menahan perasaannya sebab panen pada dasarnya adalah anugrah dari berbagai pilihan yang mungkin terjadi.
Panen adalah step paling tinggi dari berbagai tahapan menanam itu sendiri. Jika ditarik dari berbagai tahapan, kita akan berjumpa dari kemungkinan pertama yakni tidak bisa menanam. Kemungkinan kedua adalah benih yang tumbuh sakit-sakitan. Berlanjut dengan halangan yang ditakutkan adalah gagal panen sebab bencana atau hama. Dari sini jelaslah bahwa panen merupakan tahapan tertinggi dari perjuangan yang berlipat-lipat, melalui intensitas petaruhan dalam ketidakpastian alam di waktu yang relatif panjang.
Setelah usai panen, di tempat-tempat dimana komunitas desa masih hidup rukun dalam gotong royong, dikenalah sedekah bumi. Sedekah bumi adalah ritual pesta bersama, memuji bumi, agar orang tidak kalap melupakan asal muasalnya. Dasar-dasar sedekah bumi sesungguhnya tidak terletak pada pestanya, tontonan dan kemeriahannya. Melainkan pada pembentukan kehidupan sosial yang harus harmonis. Tak ada orang kaya dan orang miskin. Sedekah bumi berupaya mempertemukan semua tanpa status tertentu.
Akhirnya transformasi padi ini tidak berhenti pada satu proses saja, melainkan panen yang menghasilkan tumpukan gabah itu nanti akan menuju ke penggilingan menjadi beras. Beraspun akan menjadi sesuatu yang baru dalam proses berikutnya, bisa bercampur sebagai tepung atau mungkin siap menjadi kekuatan energi dalam tubuh manusia sebagai nasi. Persoalannya memang padi di semai oleh para petani hebat, sudahkah kita me-metanikan hidup ini.
Percakapan Petani-Petani
Jangan sampai kita kehilangan petani.
Meski memang para petani itu jelas-jelas terpinggirkan hari ini. Belajar hidup
tentang pertanian dan prinsip seorang petani cukuplah kompleks, dan pada
dasarnya kapasitas saya tidak cukup bisa menggambarkannya. Sehingga percakapan
ini adalah usaha tersulit bagi saya untuk menghibur kenyataan diri saya sendiri
sebagai anak seorang petani.
Simbah pernah saya tanya tentang pentingnya mensyukuri panen, kenapa petani tidak merasa harus jenuh dengan rutinitasnya mengolah sawah. Padahal sekarang alam tidak lagi bersahabat, panenpun kadang tidak sesuai harapan karena terlalu banyak modal dan hasilnya juga pas-pasan bahkan kadang rugi.
Begini ilustrasi jawaban simbah : "Ngene lho, kita itu harus tarik garis ke belakang. Jangan melulu segalanya harus sesuai kehendak kita. Dulu simbah punya masa jaya, sekarang kalo masa jaya itu sudah habis, mungkin sudah waktunya. Tapi yang dipunyai kan sawah, ya kerjakan sawah dengan baik. Panen ya syukur, gagal panen ya sabar saja, urip kan mung sakderma nglampahi."
Hak jawab, hak bantah ada pada segala kemungkinan yang bisa saya lontarkan ke simbah. Namun saya ingat-ingat mungkin beberapa ketidaksiapan kita adalah memandang bahwa profesi kecil-kecil entah petani, entah pemulung dan sebagainya layak dikasihani. Kemantapan hidup petani menurut saya jauh tidak membutuhkan belas kasih dan beginilah pula gambaran itu saya lanjutkan sebagai cermin.
"Kita (petani) itu kan punya kemungkinan-kemungkinan, bisa nggak dapet kesempatan menanam, bisa tanaman dirusak hama sehingga gagal panen, bisa pula panen. Panen itu ibaratnya kita proklamasi, merdeka, sementara proses menanam, melawan hama, menunggu, semua itu perjuangan. Prinsipnya orang berjuang itu yang bondo nekat, siap menerima nasib apapun juga, termasuk lama tidak panen itu juga bisa. Lama tidak bisa tanam dipermainkan alam itu juga bisa. Makanya sudahlah, nggak usah terlalu pinter-pinter soal tani, cukup kami dikasih pupuk murah, barangnya ada. Sudahlah cukup, kami bekerja."
Kakek juga berbicara tentang perhitungan masa tanam, slametan di dalam prosesi menanam.
"Orang sekarang itukan bisanya cuman mengkritik, tidak ngerti tapi bicara. Petung, atau mencari hari untuk menanam itu nggak ada urusannya dengan mempercayai takhayul. Itu cara kami memelihara tradisi. Wong yang muda-muda ini juga nggak kami marahi kalo ada yang salah-salah nentukan hari."
"Lha perkara, slametan, cok bakal, itu soal menyatukan sesuatu yang fisik dengan yang bukan fisik. Dikiranya manusia itu yang kerja itu tangan dan kakinya saja. Jadi itu sarana, memohon kepada Yang Memberi Rezeki agar seluruh diri kita melebur dalam perjuangan total pada pertanian. Dengan begitu Tuhan-pun tahu, mana pekerjaan yang untuk dunia saja, mana yang diniati lahir batin untuk semuanya, untuk keseimbangan alam raya ini. Jadi penting kalo slemetan ini."
Cerita agak fiktif tentang syukur juga simbah katakan dengan laku tresnanya kepada pemberian Tuhan.
"Kita itu gini lho Le. Setiap kali sawah itu diserang hama, yang kita bayangkan itu para malaikat yang membagi rezeki itu sedang salah alamat menerjemahkan perintah Tuhan. Di sawah ini perintahnya 5 ton, ternyata dibaca 6 ton."
"Pada saat itu hama diturunkan untuk mengurangi jatah yang kleru alamat tadi. Para malaikat ya sungkan ke kita. Jadi nggak usah sedih, hama nanti bakal pergi, tapi ya usaha, disemprot obat. Namun malaikat disitu Le. Kita kena hama, malaikat yang susah, jadi nggak ada rugi, wong malaikat nunggui sawah kita kog. Dia merasa bersalah, jadi malah doa malaikat ini bisa lebih manjur. Kata orang doanya itu mohon agar sawah yang kena hama tahun depan bisa dapet hasil yang lebih banyak."
Narasi jawaban kakek di atas memang jangan ditanya objektifitasnya, cukuplah dibaca sebagai bahasa komunikasi.
"Yang paling penting begini Le. Wong tani itu ya yang dipunyai sawah, kalo panen ya harus bisa mawas diri. Jangan semua di jual. Simbah ini sinau dari mbah buyut dulu itu. Nggak boleh kalau panen itu semua gabahnya dijual. Harus paham waktu. Palingan yang dijual itu hanya untuk mbayari yang kerja, sisanya disimpan."
"Eling-eling ya Le. Nek wong tani nduwe jagan gabah lan tutug kanggo mangan setahun, uripe iku wis ayem, wis bungah. Nadyan ora nduwe duwit, ora bakal nggresah. Mergo parine iso kanggao tunggon. Ora ketang mung karo sambel lan lawuhe krupuk paribasane wis kepenak. Ora ndadak kudu njagakke, utang rekasa ing kana-kana . Wong tani kui mung karepe ngono kog Le"
"Makanya, jangan dijual semua. Sisihkan sebagian. Itukan ibarat sudah panen, sudah merdeka, yang harus kita siapkan adalah menjaga lumbung padi aman dalam menyokong kehidupan kita di periode tanam berikutnya. Kalau semua kita jual dan dijadikan uang, dua tiga hari uang itu lebih cepat habis. Berbeda kalo berupa barang, awet dan tahan disimpan."
Entah apa arti perjuangan para petani sendiri, hingga para anak petani seperti saya merasakan pancaran pencahayaan tentang tidak perlunya pertanian dilestarikan. [ * ]
Simbah pernah saya tanya tentang pentingnya mensyukuri panen, kenapa petani tidak merasa harus jenuh dengan rutinitasnya mengolah sawah. Padahal sekarang alam tidak lagi bersahabat, panenpun kadang tidak sesuai harapan karena terlalu banyak modal dan hasilnya juga pas-pasan bahkan kadang rugi.
Begini ilustrasi jawaban simbah : "Ngene lho, kita itu harus tarik garis ke belakang. Jangan melulu segalanya harus sesuai kehendak kita. Dulu simbah punya masa jaya, sekarang kalo masa jaya itu sudah habis, mungkin sudah waktunya. Tapi yang dipunyai kan sawah, ya kerjakan sawah dengan baik. Panen ya syukur, gagal panen ya sabar saja, urip kan mung sakderma nglampahi."
Hak jawab, hak bantah ada pada segala kemungkinan yang bisa saya lontarkan ke simbah. Namun saya ingat-ingat mungkin beberapa ketidaksiapan kita adalah memandang bahwa profesi kecil-kecil entah petani, entah pemulung dan sebagainya layak dikasihani. Kemantapan hidup petani menurut saya jauh tidak membutuhkan belas kasih dan beginilah pula gambaran itu saya lanjutkan sebagai cermin.
"Kita (petani) itu kan punya kemungkinan-kemungkinan, bisa nggak dapet kesempatan menanam, bisa tanaman dirusak hama sehingga gagal panen, bisa pula panen. Panen itu ibaratnya kita proklamasi, merdeka, sementara proses menanam, melawan hama, menunggu, semua itu perjuangan. Prinsipnya orang berjuang itu yang bondo nekat, siap menerima nasib apapun juga, termasuk lama tidak panen itu juga bisa. Lama tidak bisa tanam dipermainkan alam itu juga bisa. Makanya sudahlah, nggak usah terlalu pinter-pinter soal tani, cukup kami dikasih pupuk murah, barangnya ada. Sudahlah cukup, kami bekerja."
Kakek juga berbicara tentang perhitungan masa tanam, slametan di dalam prosesi menanam.
"Orang sekarang itukan bisanya cuman mengkritik, tidak ngerti tapi bicara. Petung, atau mencari hari untuk menanam itu nggak ada urusannya dengan mempercayai takhayul. Itu cara kami memelihara tradisi. Wong yang muda-muda ini juga nggak kami marahi kalo ada yang salah-salah nentukan hari."
"Lha perkara, slametan, cok bakal, itu soal menyatukan sesuatu yang fisik dengan yang bukan fisik. Dikiranya manusia itu yang kerja itu tangan dan kakinya saja. Jadi itu sarana, memohon kepada Yang Memberi Rezeki agar seluruh diri kita melebur dalam perjuangan total pada pertanian. Dengan begitu Tuhan-pun tahu, mana pekerjaan yang untuk dunia saja, mana yang diniati lahir batin untuk semuanya, untuk keseimbangan alam raya ini. Jadi penting kalo slemetan ini."
Cerita agak fiktif tentang syukur juga simbah katakan dengan laku tresnanya kepada pemberian Tuhan.
"Kita itu gini lho Le. Setiap kali sawah itu diserang hama, yang kita bayangkan itu para malaikat yang membagi rezeki itu sedang salah alamat menerjemahkan perintah Tuhan. Di sawah ini perintahnya 5 ton, ternyata dibaca 6 ton."
"Pada saat itu hama diturunkan untuk mengurangi jatah yang kleru alamat tadi. Para malaikat ya sungkan ke kita. Jadi nggak usah sedih, hama nanti bakal pergi, tapi ya usaha, disemprot obat. Namun malaikat disitu Le. Kita kena hama, malaikat yang susah, jadi nggak ada rugi, wong malaikat nunggui sawah kita kog. Dia merasa bersalah, jadi malah doa malaikat ini bisa lebih manjur. Kata orang doanya itu mohon agar sawah yang kena hama tahun depan bisa dapet hasil yang lebih banyak."
Narasi jawaban kakek di atas memang jangan ditanya objektifitasnya, cukuplah dibaca sebagai bahasa komunikasi.
"Yang paling penting begini Le. Wong tani itu ya yang dipunyai sawah, kalo panen ya harus bisa mawas diri. Jangan semua di jual. Simbah ini sinau dari mbah buyut dulu itu. Nggak boleh kalau panen itu semua gabahnya dijual. Harus paham waktu. Palingan yang dijual itu hanya untuk mbayari yang kerja, sisanya disimpan."
"Eling-eling ya Le. Nek wong tani nduwe jagan gabah lan tutug kanggo mangan setahun, uripe iku wis ayem, wis bungah. Nadyan ora nduwe duwit, ora bakal nggresah. Mergo parine iso kanggao tunggon. Ora ketang mung karo sambel lan lawuhe krupuk paribasane wis kepenak. Ora ndadak kudu njagakke, utang rekasa ing kana-kana . Wong tani kui mung karepe ngono kog Le"
"Makanya, jangan dijual semua. Sisihkan sebagian. Itukan ibarat sudah panen, sudah merdeka, yang harus kita siapkan adalah menjaga lumbung padi aman dalam menyokong kehidupan kita di periode tanam berikutnya. Kalau semua kita jual dan dijadikan uang, dua tiga hari uang itu lebih cepat habis. Berbeda kalo berupa barang, awet dan tahan disimpan."
Entah apa arti perjuangan para petani sendiri, hingga para anak petani seperti saya merasakan pancaran pencahayaan tentang tidak perlunya pertanian dilestarikan. [ * ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar