• Mesiu Malam Hari



    Setelah pesan berantai belum juga mendapatkan kepastian. Mereka tak hentinya ingin memperoleh sepatah pernyataan dari diriku sendiri.
    “Apapun juga yang anda baca, yang pasti itu bukanlah jawaban. Tunggulah sampai saatnya tiba.”
    ***
    “PERCAYAKAH kau dengan bisikan suara hati”
    “Iya”
    “Itulah yang terpenting untuk menjawab pertanyaanmu. Hamparan sawah luas, atau pundi rupiah belum tentu bisa membujukku. Paling minim jika sampai waktunya belum juga ada kejernihan bisikan suara hati. Maka yang kupakai adalah alasan-alasan apakah perlu untuk melakukan perang suci.”
    ***
    Kisah buruk, bukan. Perjalanan di paruh tahun yang lalu itu adalah pembelajaran yang nyata. Gelap sekali, cermin yang kusam. Karena yang memimpin Desa ini memang tidak sedang duduk di tengah. Ia seperti mewakili kebanyakan masyarakatnya, sogok, kusogok, membangun dinasti, membanggakan kepribadiannya masing-masing. Sungguh menjenuhkan, guritanya tak masuk akal. Adigang, adigung, adiguna.
    “Apa kau ingin memberontak?”
    “Siapa yang kuberontak menurutmu, Hadiwijaya—pewaris Demak terakhir, ataukah Amangkurat I, jagal bangsawan dari Dinasti Mataram itu ?”
    “Lantas”
    “Aku hanya iri atas Ken Arok. Pemuda tanpa asal-usul, yang wigig membaca gejolak perubahan zaman.”
    Karena tidak mudah melawan dinasti yang disembah bagai Dewa, maka ken Arok-lah yang bisa memutus sejarah kepriyayian para bangsawan.
    “Berandal kecu, sama-sama berhak, Dewa-Raja tidak ditentukan oleh darah ini mengalir dari siapa. Justru Gandring-lah dengan racikan pulung ndaru -nya yang kemudian lebih banyak berbicara dalam dinasti berikutnya. Ketajaman sebilah keris tanpa warangka itu, sakti, mengakhiri dan mendudukkan Raja-Dewa tanah Jawa di masa setelahnya.”
    “Kenapa Arok. Bukankah dia orang kejam. Pembunuh dan dibunuh”
    “Andai ia tidak membunuh, ia akan dibunuh.”
    “Apa kau juga akan membunuh”
    “Tidak. Aku hanya kagum pada Arok. Aku tidak akan menjadi pembunuh sepertinya”
    “Dinasti ini kokoh”
    “Semua punya masanya untuk tutup buku. Dan tunggulah saja. Dengan atau tanpa keterlibatanku.”
    ***

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar