Tema keseimbangan adalah tema
yang tidak cukup mampu di uraikan dalam satu baris paragraph, melainkan harus
memenuhi jejeran baris-baris di layar putih ini. Dan gagasan berikut ini hanya
sedikit dari kompleksitas bahasan yang banyak itu, dalam titik tekan menjawab
keresahan yang saling terkait.
Pandangan
untuk kembali pada keseimbangan organisasi adalah pandangan yang harus di
telaah dari berbagai argument gagasan. Salah satu alternatif yang kemudian
dipakai dalam uraian ini adalah dengan mengais gagasan-gagasan yang pernah
tumbuh sebagai sebuah wacana untuk pembagunan organisasi ini. Gagasan pertama
yang pernah tumbuh itu ialah gagasan untuk menciptakan organisasi kultural
dengan sendi terpentingnya adalah menciptakan ikatan kekeluargaan (persatuan
erat) di antara kader, yang sangat tidak lepas pula dengan genetic utamaya
yakni keberadaan kader-kader loyal di organisasi.
Gagasan
pertama di atas terkemudian di sempurnakan dengan realitas yang berjalan bahwa
menciptakan tata hubungan kekeluargaan kultural tidak selamanya mudah
direalisasikan. Sistem yang tidak terbentuk dengan baik untuk menopang
kelemahan dari sendi kultural ternyata menimbulkan kegoncangan ketika krisis
yang tak terduga terjadi, sehingga gagasan tentang organisasi kultural itu
dikoreksi, dimana penguatan fungsi struktural tidak boleh diabaikan dalam
kerangka mencetak kader professional. Sintesa gagasan ini pada dasarnya tidak
berniat mengesampingkan ide tentang organisasi kekeluargaan, karena pada
kenyataannya ide kekelurgaan terus mencoba di desakkan meskipun hingga hari ini
ide itu sendiri terpentok pada kerterbatasan sistem yang berjalan sehingga
masing-masing kader terkotak-kotak di dalam warna kementeriannya masing-masing.
Untuk
meneguhkan dan memberikan unsur kelengkapannya, koreksi secara berkelanjutan
terus didorongkan. Gagasan kedua tentang pentingnya penguatan struktur kemudian
dipertegas dalam batas-batas wajarnya. Pembatasan yang kemudian muncul tidak
lain ialah untuk membentengi posisi kader organisasi agar tetap berdiri
seimbang dan tidak bisa dipengaruhi oleh pretensi organisasi eksternal yang
dari pada itu di khawatirkan bisa memberikan pengaruh jika kedudukan kader
organisasi tidak di definisikan dalam batasan yang jelas. Walhasil sintesa
gagasan barupun muncul dalam rangka mendefinisikan tentang posisi kader
organisasi itu sendiri yang didalamnya menyangkut kriteria tentang penghargaan
atas loyalitas kader, tentang kriteria untuk menjaga kekeluargaan yang
bersambung dan akhirnya profesionalitas kader internal menjadi titik tekan
amanat yang harus dengan mendesak diciptakan dalam kerangka sistem internal
yang mandiri. Dan gagasan ketiga itu secara resmi mendeklarasikan bahwa
organisasi ini adalah organisasi tengah yang tidak milik golongan apapun, tidak
menerima penguasaan atas golongan tetapi menampung segala bentuk perbedaan dan
mewadahinya secara terbuka bagi semua golongan untuk masuk di kepengurusan
organisasi.
Dari gagasan
pertama yang berbicara tentang kekeluargaan, kemudian membicarakan tentang
profesionalitas kader dan gagasan yang terakhir tentang organisasi jalan tengah,
kesemuanya sedang berbicara tentang pandangan sisi ideal organisasi dari sudut
pandang “dengan identitas kader seperti apa organisasi ini kita bangun?”
sementara itu hal yang tak kalah pentingnya yakni “sebenarnya kita ini
organisasi apa?” belum terjawab di tiga formula gagasan yang ada, sebab
ketiganya berfokus pada eksplorasi pencapaian organisasi yang berbasis pada
output kaderisasi. Inipun menandakan bahwa sisi kader memang bukan sisi remeh
yang harus dinaktirkan, melainkan telah menempati fokus sentral di segala sudut
waktu.
Untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan tentang “organisasi apakah kita ini?”, maka
fokus yang kemudian dibaca untuk diformulasikan adalah wacana tentang lini-lini
kerja organisasi. Dari eksplorasi berbagai kemungkinan identitas kerja, maka
tercetuslah istilah organisai “public service” (organisasi
pelayan umum). Kenapa
kemudian identitas public service muncul sebagai sentral utama yang kemudian
disebut sebagai nas organisasi, dan mengungguli nama-nama identitas lainnya?
Jawabannya tidak lain adalah karena organisasi ini (secara historis) ada sebab
terdorong atas semangat-semangat perjuangan bersama-sama untuk saling menjaga
dan melindungi sesama mahasiswa Bidikmisi yang senasib sepenanggungan. Tidak
heran bahwa organisasi ini harus hadir untuk mahasiswa secara aktual dan tidak
sebatas hanya sebagai organisasi eventual aktual yang memajang nama
eksistensial serta hanya memanfaatkan penguasaan atas kekuatan massa yang
secara politis sangat potensial dan besar.
Meskipun nas
organisasi dalam merknya yakni public service tidak menjadi bagian final dari
keputusan organisasi, akan tetapi pendeklarasian identitas ini sebagai gagasan
tentang jati diri kerja organisasi memberikan efek substansial yang patut
direnungkan dimasa-masa yang akan datang. Deklarasi sebagai organisasi “public
service” ini mengandung makna untuk mengembalikan kembali kedudukan sentral
mahasiswa Bidikmisi sebagai pemegang mandataris tertinggi organisasi yang dari
pada itu mereka tidak hanya bermain sebagai penonton dari kerja eksistensial
organisasi melainkan memiliki hak untuk menuntut tanggungjawab organisasi agar
tidak abai atas berbagai kesulitan-kesulitan mahasiswa Bidikmisi dengan
berbagai bentuknya. Di lain pihak deklarasi sebagai “organisasi public service”
justru sangat berdampak serius dalam penguatan sendi kekeluargaan, yang
sebenarnya dari kerja public service ini sendiri menuntut hadirnya tim
organisasi yang solid dan kuat, disamping itu secara mendasar juga membutuhkan
para loyalis dan intelektualis dalam memecahkan soal-soal seputar pelayanan
mahasiswa Bidikmisi itu sendiri. Artinya gagasan public service pada dasarnya
menyangkut dan menuntut hadirnya organisasi yang kuat di bidang kader dan
kekeluargaan sekaligus. Dan sangat jelas pula bahwa kader-kader yang demikian
ini tidaklah berasal dari kader pretensial kekuasaan, melainkan kader yang
berpretensi pada welas asih pengabdian. Sehingga secara sendirinya gagasan
organisasi jalan tengah akan berjalan untuk menampung semua golongan.
Jika
disangkutpautkan dengan titik pijak keseimbangan, maka gagasan “public service”
hingga hari ini masih sangat relevan untuk dikembangkan bahkan memiliki ruang
eksplorasi yang luas. Selain gagasan tentang public service di dalam sendi
fungsional, gagasan tentang kekeluargaan dan profesionalitas kader adalah hal
yang tidak bisa diabaikan begitu saja terutama dalam rangka menekan dinamika
organisasi yang bisa saja tak terkontrol di titik-titik masa tertentu. Pada
gilirannya, penciptaan keseimbangan tidak akan tercapai jika mengabaikan ke
empat gagasan yang telah dikemukakan di atas, dan tidak berlebihan jika
disetiap masa, kritik-kritik yang tajam terus ditujukan pada kerja eksistensial
organsisasi (berupa proker eventual) yang dilakukan secara tidak seimbang di
dalam merealisasikan gagasan-gagasan pokok fundamental organisasi.
Kritik-kritik
yang kemudian menyasar pada sendi-sendi kerja eventual tidak dapat diragukan
bahwa sangat salah arah ditujukan, sebab eksistensial dan substansial adalah
dua hal yang layaknya diiringkan dalam ranah citra yang sama kuatnya.
Bahwasanya pada kenyataannya, kerja eksistensial cenderung dominan dan jika
kelewat berlebih-lebihan memang sangat berpotensi menutupi kerja-kerja
substansial. Akan tetapi, kecenderungan yang semacam ini adalah realitas wajar
dalam batas-batasnya, dan memang tarikan untuk menuju pada keseimbangan harus
benar-benar diusahakan dengan serius. Kemeriahan proker eventual tidak boleh
ditolak, dan justru harus terus mendapat dukungan yang sama besarnya, namun
kesulitan-kesulitan dan kecenderungan kebekuan yang terjadi pada kerja
substansial (public service dan kaderisasi) harus pula diusahakan dengan keras,
sebab pengusahaan yang biasa saja, atau pemalasan atas kebuntuan dari ranah
kerja subtansial hanya akan menyebabkan pergeseran yang nyata dari arah
kerja/identitas organisasi.
Dalam
kerangka filosofis, rumusan titik pijak keseimbangan itu dirumuskan dalam
standar prioritasnya yang dalam jargon Bidikmisi berbunyi persatuan di
urutan pertama, kerja
kekaryaan di urutan kedua dan terakhir adalah mewujudkan realitas ideal (asa
yang tercapai). Bersatu
yang dalam subjeknya adalah persatuan mahasiswa Bidikmisi, dan alat
persatuan itu sendiri ialah organisasi dengan kerja pelayanannya yang prima
kepada anggotanya dan hanya dapat diciptakan jika kekuatan kader kemudian
mempuni dalam melangkahi permasalahan. Barulah rumusan yang kedua ialah “berkarya”,
berkarya dalam konteks ini bisa bermakna mewarnai organisasi dengan kerja-kerja
eksistensial seperti menciptakan karya pengabdian kepada masyarakat, dan
proker-proker eventual. Urut-urutan itu adalah rantai prioritas yang mestilah
diperhatikan secara cermat untuk mencapai keseimbangan berorganisasi yang
disebut juga dengan proses dalam meraih asa.
Proses meraih asa itu kemudian secara adil harus ditujukan untuk kembali ke nas
organisasi. Jika kerja organisasi sudah tidak merujuk pada pemberatan di
pendulum kerja substansial organisasi, maka sejatinya kerja-kerja eksistensial
organisasi lainnya tidak memberikan makna besar di dalam menegakkan amanat
esensial filosofis dari pendirian organisasi.
Mewujudkan
keseimbangan pada gilirannya memang tidak mudah, tidak hanya berpijak pada
idealitas gagasan, akan tetapi harus bisa menyentuh kulit langsung dari
permukaan bumi. Dari pada itu, secara konkrit di waktu yang ada, spektrum
penelahaan masalah dan rencana solusi tidak boleh berbatas dalam kerangka satu
kepengurusan saja melainkan harus bisa kontinu berlapis-lapis dalam kerangka
waktu yang panjang. Idiom kultur, public service, organisasi tengah, dan
organisasi kader hanya akan di awang-awang jika tidak ada sistem yang
mendukungnya. Keseimbangan antar elemen organisasi harus diciptakan, jika
memang perubahan-perubahan dalam landasan hukum keorganisasian di perlukan guna
menyeimbangkan kerja dan komunikasi antar lembaga-lembaga organisasi, maka hal
itu dapat ditempuh sepanjang batas-batas keseimbangan tetap di jaga. Di samping
itu, kondisi penyempurnaan kader dan penciptaan kultur yang baik dalam
mewujudkan kader kekeluargaan yang murni juga tidak dapat didiamkan saja,
melainkan harus didukung dengan perangkat sistem yang real dan perlu disadari
pula bahwa kaderisasi adalah denyut nadi paling vital dalam menjaga amanat
tradisi kepemimpinan di dalam berorganisasi. Sedangkan dalam mewujudkan kerja
public service, jawaban diplomasi harus digeser dan digantikan dengan
program-program penciptaan pelayanan publik berbasis subsidi (dari kas dan
infaq) yang bisa menjawab soal-soal di akar rumput, dan agresifitas kerja harus
ditingkatkan, karena tanpa kepekaan di bidang public service, segalanya akan
nihil.
Penegasan
tentang keseimbangan hulu dan hilirnya adalah untuk kembali ke jati diri
organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar