• Tiang Tegak Kesetimbangan (1)


    Tema keseimbangan adalah tema yang tidak cukup mampu di uraikan dalam satu baris paragraph, melainkan harus memenuhi jejeran baris-baris di layar putih ini. Dan gagasan berikut ini hanya sedikit dari kompleksitas bahasan yang banyak itu, dalam titik tekan menjawab keresahan yang saling terkait. 

    Pandangan untuk kembali pada keseimbangan organisasi adalah pandangan yang harus di telaah dari berbagai argument gagasan. Salah satu alternatif yang kemudian dipakai dalam uraian ini adalah dengan mengais gagasan-gagasan yang pernah tumbuh sebagai sebuah wacana untuk pembagunan organisasi ini. Gagasan pertama yang pernah tumbuh itu ialah gagasan untuk menciptakan organisasi kultural dengan sendi terpentingnya adalah menciptakan ikatan kekeluargaan (persatuan erat) di antara kader, yang sangat tidak lepas pula dengan genetic utamaya yakni keberadaan kader-kader loyal di organisasi.

    Gagasan pertama di atas terkemudian di sempurnakan dengan realitas yang berjalan bahwa menciptakan tata hubungan kekeluargaan kultural tidak selamanya mudah direalisasikan. Sistem yang tidak terbentuk dengan baik untuk menopang kelemahan dari sendi kultural ternyata menimbulkan kegoncangan ketika krisis yang tak terduga terjadi, sehingga gagasan tentang organisasi kultural itu dikoreksi, dimana penguatan fungsi struktural tidak boleh diabaikan dalam kerangka mencetak kader professional. Sintesa gagasan ini pada dasarnya tidak berniat mengesampingkan ide tentang organisasi kekeluargaan, karena pada kenyataannya ide kekelurgaan terus mencoba di desakkan meskipun hingga hari ini ide itu sendiri terpentok pada kerterbatasan sistem yang berjalan sehingga masing-masing kader terkotak-kotak di dalam warna kementeriannya masing-masing.

    Untuk meneguhkan dan memberikan unsur kelengkapannya, koreksi secara berkelanjutan terus didorongkan. Gagasan kedua tentang pentingnya penguatan struktur kemudian dipertegas dalam batas-batas wajarnya. Pembatasan yang kemudian muncul tidak lain ialah untuk membentengi posisi kader organisasi agar tetap berdiri seimbang dan tidak bisa dipengaruhi oleh pretensi organisasi eksternal yang dari pada itu di khawatirkan bisa memberikan pengaruh jika kedudukan kader organisasi tidak di definisikan dalam batasan yang jelas. Walhasil sintesa gagasan barupun muncul dalam rangka mendefinisikan tentang posisi kader organisasi itu sendiri yang didalamnya menyangkut kriteria tentang penghargaan atas loyalitas kader, tentang kriteria untuk menjaga kekeluargaan yang bersambung dan akhirnya profesionalitas kader internal menjadi titik tekan amanat yang harus dengan mendesak diciptakan dalam kerangka sistem internal yang mandiri. Dan gagasan ketiga itu secara resmi mendeklarasikan bahwa organisasi ini adalah organisasi tengah yang tidak milik golongan apapun, tidak menerima penguasaan atas golongan tetapi menampung segala bentuk perbedaan dan mewadahinya secara terbuka bagi semua golongan untuk masuk di kepengurusan organisasi.

    Dari gagasan pertama yang berbicara tentang kekeluargaan, kemudian membicarakan tentang profesionalitas kader dan gagasan yang terakhir tentang organisasi jalan tengah, kesemuanya sedang berbicara tentang pandangan sisi ideal organisasi dari sudut pandang “dengan identitas kader seperti apa organisasi ini kita bangun?” sementara itu hal yang tak kalah pentingnya yakni “sebenarnya kita ini organisasi apa?” belum terjawab di tiga formula gagasan yang ada, sebab ketiganya berfokus pada eksplorasi pencapaian organisasi yang berbasis pada output kaderisasi. Inipun menandakan bahwa sisi kader memang bukan sisi remeh yang harus dinaktirkan, melainkan telah menempati fokus sentral di segala sudut waktu.

    Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tentang “organisasi apakah kita ini?”, maka fokus yang kemudian dibaca untuk diformulasikan adalah wacana tentang lini-lini kerja organisasi. Dari eksplorasi berbagai kemungkinan identitas kerja, maka tercetuslah istilah organisai “public service” (organisasi pelayan umum). Kenapa kemudian identitas public service muncul sebagai sentral utama yang kemudian disebut sebagai nas organisasi, dan mengungguli nama-nama identitas lainnya? Jawabannya tidak lain adalah karena organisasi ini (secara historis) ada sebab terdorong atas semangat-semangat perjuangan bersama-sama untuk saling menjaga dan melindungi sesama mahasiswa Bidikmisi yang senasib sepenanggungan. Tidak heran bahwa organisasi ini harus hadir untuk mahasiswa secara aktual dan tidak sebatas hanya sebagai organisasi eventual aktual yang memajang nama eksistensial serta hanya memanfaatkan penguasaan atas kekuatan massa yang secara politis sangat potensial dan besar.

    Meskipun nas organisasi dalam merknya yakni public service tidak menjadi bagian final dari keputusan organisasi, akan tetapi pendeklarasian identitas ini sebagai gagasan tentang jati diri kerja organisasi memberikan efek substansial yang patut direnungkan dimasa-masa yang akan datang. Deklarasi sebagai organisasi “public service” ini mengandung makna untuk mengembalikan kembali kedudukan sentral mahasiswa Bidikmisi sebagai pemegang mandataris tertinggi organisasi yang dari pada itu mereka tidak hanya bermain sebagai penonton dari kerja eksistensial organisasi melainkan memiliki hak untuk menuntut tanggungjawab organisasi agar tidak abai atas berbagai kesulitan-kesulitan mahasiswa Bidikmisi dengan berbagai bentuknya. Di lain pihak deklarasi sebagai “organisasi public service” justru sangat berdampak serius dalam penguatan sendi kekeluargaan, yang sebenarnya dari kerja public service ini sendiri menuntut hadirnya tim organisasi yang solid dan kuat, disamping itu secara mendasar juga membutuhkan para loyalis dan intelektualis dalam memecahkan soal-soal seputar pelayanan mahasiswa Bidikmisi itu sendiri. Artinya gagasan public service pada dasarnya menyangkut dan menuntut hadirnya organisasi yang kuat di bidang kader dan kekeluargaan sekaligus. Dan sangat jelas pula bahwa kader-kader yang demikian ini tidaklah berasal dari kader pretensial kekuasaan, melainkan kader yang berpretensi pada welas asih pengabdian. Sehingga secara sendirinya gagasan organisasi jalan tengah akan berjalan untuk menampung semua golongan.

    Jika disangkutpautkan dengan titik pijak keseimbangan, maka gagasan “public service” hingga hari ini masih sangat relevan untuk dikembangkan bahkan memiliki ruang eksplorasi yang luas. Selain gagasan tentang public service di dalam sendi fungsional, gagasan tentang kekeluargaan dan profesionalitas kader adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja terutama dalam rangka menekan dinamika organisasi yang bisa saja tak terkontrol di titik-titik masa tertentu. Pada gilirannya, penciptaan keseimbangan tidak akan tercapai jika mengabaikan ke empat gagasan yang telah dikemukakan di atas, dan tidak berlebihan jika disetiap masa, kritik-kritik yang tajam terus ditujukan pada kerja eksistensial organsisasi (berupa proker eventual) yang dilakukan secara tidak seimbang di dalam merealisasikan gagasan-gagasan pokok fundamental organisasi. 

    Kritik-kritik yang kemudian menyasar pada sendi-sendi kerja eventual tidak dapat diragukan bahwa sangat salah arah ditujukan, sebab eksistensial dan substansial adalah dua hal yang layaknya diiringkan dalam ranah citra yang sama kuatnya. Bahwasanya pada kenyataannya, kerja eksistensial cenderung dominan dan jika kelewat berlebih-lebihan memang sangat berpotensi menutupi kerja-kerja substansial. Akan tetapi, kecenderungan yang semacam ini adalah realitas wajar dalam batas-batasnya, dan memang tarikan untuk menuju pada keseimbangan harus benar-benar diusahakan dengan serius. Kemeriahan proker eventual tidak boleh ditolak, dan justru harus terus mendapat dukungan yang sama besarnya, namun kesulitan-kesulitan dan kecenderungan kebekuan yang terjadi pada kerja substansial (public service dan kaderisasi) harus pula diusahakan dengan keras, sebab pengusahaan yang biasa saja, atau pemalasan atas kebuntuan dari ranah kerja subtansial hanya akan menyebabkan pergeseran yang nyata dari arah kerja/identitas organisasi. 

    Dalam kerangka filosofis, rumusan titik pijak keseimbangan itu dirumuskan dalam standar prioritasnya yang dalam jargon Bidikmisi berbunyi persatuan di urutan pertama, kerja kekaryaan di urutan kedua dan terakhir adalah mewujudkan realitas ideal (asa yang tercapai). Bersatu yang dalam subjeknya adalah persatuan mahasiswa Bidikmisi, dan alat persatuan itu sendiri ialah organisasi dengan kerja pelayanannya yang prima kepada anggotanya dan hanya dapat diciptakan jika kekuatan kader kemudian mempuni dalam melangkahi permasalahan. Barulah rumusan yang kedua ialah “berkarya”, berkarya dalam konteks ini bisa bermakna mewarnai organisasi dengan kerja-kerja eksistensial seperti menciptakan karya pengabdian kepada masyarakat, dan proker-proker eventual. Urut-urutan itu adalah rantai prioritas yang mestilah diperhatikan secara cermat untuk mencapai keseimbangan berorganisasi yang disebut juga dengan proses dalam meraih asa.  Proses meraih asa itu kemudian secara adil harus ditujukan untuk kembali ke nas organisasi. Jika kerja organisasi sudah tidak merujuk pada pemberatan di pendulum kerja substansial organisasi, maka sejatinya kerja-kerja eksistensial organisasi lainnya tidak memberikan makna besar di dalam menegakkan amanat esensial filosofis dari pendirian organisasi.

    Mewujudkan keseimbangan pada gilirannya memang tidak mudah, tidak hanya berpijak pada idealitas gagasan, akan tetapi harus bisa menyentuh kulit langsung dari permukaan bumi. Dari pada itu, secara konkrit di waktu yang ada, spektrum penelahaan masalah dan rencana solusi tidak boleh berbatas dalam kerangka satu kepengurusan saja melainkan harus bisa kontinu berlapis-lapis dalam kerangka waktu yang panjang. Idiom kultur, public service, organisasi tengah, dan organisasi kader hanya akan di awang-awang jika tidak ada sistem yang mendukungnya. Keseimbangan antar elemen organisasi harus diciptakan, jika memang perubahan-perubahan dalam landasan hukum keorganisasian di perlukan guna menyeimbangkan kerja dan komunikasi antar lembaga-lembaga organisasi, maka hal itu dapat ditempuh sepanjang batas-batas keseimbangan tetap di jaga. Di samping itu, kondisi penyempurnaan kader dan penciptaan kultur yang baik dalam mewujudkan kader kekeluargaan yang murni juga tidak dapat didiamkan saja, melainkan harus didukung dengan perangkat sistem yang real dan perlu disadari pula bahwa kaderisasi adalah denyut nadi paling vital dalam menjaga amanat tradisi kepemimpinan di dalam berorganisasi. Sedangkan dalam mewujudkan kerja public service, jawaban diplomasi harus digeser dan digantikan dengan program-program penciptaan pelayanan publik berbasis subsidi (dari kas dan infaq) yang bisa menjawab soal-soal di akar rumput, dan agresifitas kerja harus ditingkatkan, karena tanpa kepekaan di bidang public service, segalanya akan nihil.

    Penegasan tentang keseimbangan hulu dan hilirnya adalah untuk kembali ke jati diri organisasi.



  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar