Kepada janji yang
dipangku bersama, karena ada yang engkau tahu—aku tak tahu, karena ada yang
kutahu—engkau tak bertanya, dan karena ada yang sama-sama kita taktahu—yang
mengandung nikmat takterkira.
Repot-repot
belepotan, hari demi hari diperdebatkan—tapi hanya sebagai aspirin pelepas
pening. Kusarungkan kata-kata hematku di sela kantong—berharap pintu-pintu
kabut terpapar cahaya. Repot—dan serba repot, transisi waktu, polarisasi kutub,
lepasan putaran, seperti—perhitungan-perhitungan haruskah dirumuskan ulang supaya
matematis atau supaya rumusannya kian melempar jauh keangkasa—gagasan konstan,
yang haus menyentuh bumi.
Lepaslah dengan
menatapnya—mulutnya masih merah seperti yang dulu, hidung yang teguh seperti
Kelud yang mancung—pipi menggemaskan—butuh dicubit, ia masih tetap mengeja
diriku berkomat-kamit—dan dari tabir darahnya yang bergejolak—sungguh
kata-katanya bak ketabuan menyingkap kotak-kotak lekuk di dalam mitokondria
yang berisi cairan dalam kerja metabolisme energi.
Lalu pandangilah
Matahari itu—mungkin itu bola tiada tepi—namun, biarlahmelalui tempatnya yang
jauh ia menjadi amat dekat, bahkan sangat lekat—kala-kala aku berfikir bahwa
itu ialah metamorfosa yang tepat dari sebongkah bola raksasa maha-api, menjadi
kumpulan kilau berbinar—penuh rahmat, menyapa bumi berjeda, menyimpan
keserasian makna, dalam lingkupan kosmik yang bisu tapi sejuta guna.
"Morsa, aku
tak bisa menjelaskannya padamu”
Kalau itu ungkapan
canda—aku memang bercanda, kalau ungkapan itu serius—sejatinya sesekali aku
juga bersalah sebab terlalu banyak berfikir tanpa memberi kesempatan padamu
untuk mengungkapkan ide dan gagasan serupa. Aku sangat bersalah,—mestilah waktu
yang masih bisa kaugunakan—memberikan kesempatan di kesendirian, serta dalam
renungan paling sucimu—sehingga kemurnian seperti matahari itu memancar melalui
jarak-jarak yang antara rembulan, bumi, mars—serta tata galaksi ini penuh
dengan kerumitan—yang sedikit saja konstanta semesta dirubah segalanya memulai
percepatan kehancuran menuju ruang dimensi yang barangkali sangat-sangat
berbeda.
Oh…Iya kau memang
harus bertanya. “Mengapa?”.
Jika aku berterus
terang—tanpa berkelit—tanpa menghindar dari kejar pertanyaan—menurutku itu
hanya akan membalikkan lidah, nuansa, dan keputusan yang haruslah
bebas—sebebas-bebasnya menjadi hakmu. Pembicaraan dengan tatapan dua aliran
kuharap ialah osmosis yang berjalan alami—bukan atas kebuntuan, keterpaksaan.
Dan aku enggan membacakan rentetan mantra doktriner yang jelasnya akan kau urut
kembali dengan “Mengapa ?”—mu, padahal mantra-mantra itu sendiri bukan atas
kosa kata objektivitas kebendaan, bukan dari analisis hipotesis, melainkan
lebih banyak atas alasan persinggungan yang di dalamnya antara nalar kesedihan,
keterhimpitan, frame-frame dari suatu tanda-tanda yang tidak punya kerterkaitan,
dan tidak menyentuh bentuk baku apapun di dalam semuanya itu. Tapi biasanya
dengan bebas kukatakan untuk mengelakkan campur tangan akal murni—kataku “aku
tidak tahu, janganlah percaya”,begitulah mantra.
Kau telah merasa
lelah—kau tampil tanpa kehadiran siapapun juga dalam tata letak yang sebenarnya
juga masih belum dengan jelas kau sadari—tentang apa yang dibuka oleh ruang
pertanyaanmu yang agaknya tidak boleh kujawab sendirian tanpa melibatkan
kehadiran utuh dari sepenggal persaksian yang selama ini jelas membentuk ruang
pertimbanggan—maka bernafaslah—apakah ada yang sakit di dalam paru-paru dirimu.
Rokokkah? Atau jangan-jangan kau memulai untuk mengatur jeda nafas yang tidak
perlu. Kupikir jangan—jawaban-jawaban tidak menunggu apa yang kau tahan, sebab
sel-sel dalam dirimu sendiri melawan tindakan hidupmu. Hidupmu dipertahankan
oleh mereka yang terus bergerak mendesak atas keyakinan bahwa kesatuan di
seluruh sendi organel—sistem organisme dan organisasi hidupmu, karena
kesemuanya masih amat sangat normal bekerja.
“Aku banyak
bertemu dengan orang sepertimu, bertemu denganmu, bertemu dengan kawan-kawanmu,
serta berkenalan dengan pola baik prilaku, tata jiwa, maupun kehendak yang
kemudian memancar sebagai gagasan hidupmu itu. Kau sungguh mampu lebih lugu
dalam perlawanan yang memang kau lahirkan sebagai watak ngalah, epistemologi campuran antara jalan pikir orang Jawa dan
jalan pikir lika-liku kepasrahan ditempa rel semesta yang garang."
“Kenapa kau enggan
menjelaskannya” di ulang pertanyaan itu lagi padaku.
Kutatap dia,
ekspresiku mengharapkan ada kata-kata lain yang lebih tepat untuk meluncur dari
alam berfikirnya.
"Kau keliru
memahami dirimu sendiri Morsa" kesahku dalam hati.
Dari tatapan itu kau
mungkin menangkap sorot yang menukik, menerabas dinding ulu hatimu, bahwa aku sendiri
mengemban tugas untuk mengatakan yakin dan tidak segan-segan untuk
berulang-ulang memaksamu berbuat lebih pada tugas dan amanat kepercayaan yang tidak
pasti—tapi juga sangat niscaya untuk didefinisikan dalam rangkaian sederhana.
Hanya saja orang-orang sangat tidak paham untuk memulai semuanya. Sementara aku—apakah
aku moment yang diutus untuk memaparkan benang tak bercabang itu. Tidak.
Semuanya harus kuulangi lagi—jedakanlah kekosongan di dalam menyerap daya
kreatif itu agar memihak padamu.
“Aku heran padamu”.
Rasa tidak puasnya
wajar jika di desakkan untuk menghardikku. Maka dengan tidak
sadar sebenarnya ada dua mata pisau yang tajam di dalam tubuhmu—dengan sikapmu
itu.
Aliran darahmu
adalah trah yang tidak harus dipertanyakan, siap memegang senapan mati-matian
jika kau sedang percaya pada keyakinan murnimu tentang tanda-tanda atas rasa disakiti
yang menjalar melawan keadilan pada dirimu. Sementara pisau yang lain pada
dirimu ialah kau mengambil jarak terlalu jauh, sehingga dirimu sendiri terasing
pada kesepian. Kesepian itulah temanmu, padahal kau punya jalan untuk menolak
kesepian dan bersuka ria dengan pergumulan ramai. Jangan pula memancing pada
diriku untuk tertawa kecil-kecil dengan patahan-patahan yang sinis.
“Kau memang sama”
tukasmu padaku, “penuh kelakar—menusuk karena sarkasme dan suasana sinisme, tak
kumengerti—semua retorika yang barangkali jauh dari kata mudah,fulgar, dan
pantang pilah-pilah—membabat kawan maupun lawan.” Kau tertawa kecil juga
mengikutiku.
“Kau itu orang
yang sangat kuat” balasku memuji—entah ditangkapnya sebagai pujian atau
umpatan.
Di balik gaya yang
membangun benteng setinggi ini, aku tidak sunguh-sungguh untuk melakukan hal
itu. Kesan basa-basiku, kesan formalku, dan semua kepalsuan ekspresi sudah kuhitung
dengan kadar yang tidak terlalu berlebihan. Dan mengertilah untuk tidak
bersembunyi, pada misteriusme yang kuciptakan sendari kau tidak memahami “isme”
yang sama—yang sama—pada bagian lain dari hidup kita berdua. Benarkan !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar