• Imajinasi Kita




    Hari-hari di tahun ini telah hampir tertelan oleh bayangan rembulan dengan paras pucat yang tertutup oleh terawang awan di kolong angkasa. Nyanyian sumbang, dalam ratapan angker dan logika kejumudan turut pula menghasutkan keriuhan. Dan semua itu ibarat ombak laut yang memecahkan dirinya dalam keping-keping buih—sejenak berbusa-busa berderet rapi, namun sejenak pula lenyap dalam pandangan mata, sebuah drama kosong, tak berisi.
    Perkenalkan, aku bagian dari larik tulisan ini. Namaku adalah Wisamadura, atau kerap dipanggil Wisa. Aku tinggal di pertigaan lorong Desa yang jauh dari keramaian. Kira-kira perjalanan dari pusat Kabupaten menuju Desaku memakan waktu satu hingga satu setengah jam. Waktu tempuh akan menjadi lebih lama, utamanya jika cuaca tidak bersahabat. Hujan intensitas lebat bisa saja merusak kontur jalan yang masih becek karena hanya diurug oleh pecahan-pecahan lembut dari sisa-sisa penambangan batu. Lagi pula, Desaku ini menyorong jauh di dalam keterpencilan lebatnya hutan jati yang sangat angker di malam tiba—dari segala arah perjalanan malam, yang ada ialah gelap gulita. Paling-paling, nyaring bunyi pekikan serangga atau burung-burung malam yang justru akan meyakinkan bahwa keangkeran hutan menuju Desa kami itu memang benar adanya.
    Di balik semua kenyataan itu, aku tak perlu merasa belas kasihan apapun. Dan kecintaanku pada Desa dan kesederhanaan penduduknya melebihi apapun juga, termasuk kebanggaanku sendiri pada gubuk mungilku. Saking bangganya, kunamai tempat tinggalku itu sebagai “gubuk pencil”. Nama itu kusandangkan sebab gubukku ini tak mampu tertembus oleh gegap gempita suara lalu lalang kebisingan mesin kendaraan. Disanalah aku berteduh damai, serasa dalam goa keberuntungan, meski sesekali dari atap lantai atas yang terbuka, keriuhan bisa pula tercipta kapanpun juga. Kala semacam itu memang dengan disengaja harus terjadi, karena aku bersama sekumpulan ilalang jalang yang terasing, sering berkumpul menghabiskan momen-momen keindahan, menyelam pada malam melalui racikan kemesraan gelak tawa, lagu-lagu, debat diskusi, dan keringanan-keringanan aktivitas lainnya, yang itu semua bagaikan panggilan jiwa yang mesra melenakan.
    Bersama kemesraan itulah diriku menjadi harus mereka ulang mimpiku, semata-mata karena membaca kenyataan di dalam Desa yang kutinggali, menjauh sepi—melupakan kebanggaan imajinasi kota besar yang sempat menempaku kala menempuh studi di waktu-waktu yang telah mundur. Mereka. Maksudku salah seorang dari mereka, seorang anak yang begitu bersorot aneh, bernama Kalpasastra. Ia pernah dengan indah memaksaku untuk mengulang mimpi yang sama, menyemai lagi kenangan kala waktu di pangkuan idealisme pendidikan. Kata temanku itu, “Menciptakan kemerlip langit bersama para ilalang yang lain ialah keniscayaan. Kawan kita disini, dan kawanmu disana, sama—kita sama-sama akan tumbuh.” Dan kala itu aku hanya tersenyum meresponya, setelah jeda beberapa hari kemudian aku berkata padanya “Ada batas kemampuan setiap orang.”, sendari aku sadar, apa yang ia inginkan ialah untuk menggapai langit yang tak terkira jauh, mana mungkin aku mampu mewujudkan sebuah keinginan tanpa perlengkapan yang memadai. Hanya barangkali, tawaran keduanya yang aku hargai karena runtutan narasi yang ia bawakan begitu indah menarik hati.
    Tutur Kalpa “Bermimpilah untuk memindahkan binar dua wajah dari rembulan di angkasa sana”. Kala itu, malam purnama bersinar dengan ukuran rembulan yang lebih besar, langit juga tak berawan, dan dari atap gubuk segalanya terlihat seakan sempurna. Ia berbicara di depanku sambil menunjuk-nunjuk wajah rembulan, kemudian seolah-olah ia tengah menjangkau rembulan yang jauh itu, hingga tiba-tiba saja gambaran bulan yang disuguhkan padaku adalah gambaran bahwa rembulan itu telah hadir menghampiri telapak tangannya, dan cahaya dengan sorot yang tak terkira itu tiba-tiba saja berubah semakin dingin menghampiriku—lalu mengumpul berkas-berkas pantulannya di keseluruhan binar wajahku.
    Kalpa memang pandai bercerita, dan pandai menghidupkan cerita-ceritanya itu, namun untuk yang satu ini, Kalpa terasa hadir bagaikan pesulap, atau bukan, ia mungkin malaikat langit yang membiuskanku dengan keanehan yang luar biasa. Setelah cahaya rembulan itu benar-benar mengumpul dalam berkas wajahku, seperti tiada henti rembulan itu ia ulang alikkan dengan gerak tangannya, seperti bola api ajaib yang berputar-putar. Dengan begitu cepat pula, entah bagaimana—bola itu meluncur lenyap menyatu masuk dalam rengkuhan dadaku, hingga makin besar cahaya menebar-nebar kedalam tubuhku, bagai kunang-kunang malam yang sendirian berpijar di puncak kegelapan. Di sinilah keanehan itu terjadi, sebab segalanya seperti turut tercahayai oleh rembulan yang merasuk dalam dadaku ini.
    Sekejap, ketika aku hampir terbuai, dan ia agak terdiam sejenak. Ia lantas bersuara “Stop”, dan alam itu kembali. Aku ternyata tidak menjadi apa-apa, dan masih sendekap diam mendengarkan ceritanya itu. Barulah aku sepotong-sepotong mengingat-ingat percakapannya tadi kepadaku. Kalpa pergi kemudian, malam makin larut dan aku juga merasa baru kali ini lenyap di dalam kebingungan, dari gambling-gambling yang diciptakan Kalpa antara di alam nyata atau alam imajinasi. Baru lama setelah kudengar-dengar, konon Kalpa punya ilmu hipnotis, namun apakah sungguh ia menghipnotisku, apakah itu trik yang sedang ia uji cobakan. Perasaanku terbelah, kurasa aku boleh sesekali percaya bahwa aku terhipnotis, namun kurasa pula aku boleh curiga bahwa Kalpa tidak sedang bermain-main padaku. Sekaian lama aku berkawan baik dengannya, dan serius, ini adalah keajaiban. Kalpa memang tidak akan jujur atas peristiwa ini tadi.  Entahlah !


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar