Awalnya, aku
berniat untuk menjadi orang bebas yang tidak terikat pada siapa saja, dan bisa
berbuat sesuka hati dalam artian mengerjakan hal-hal yang positif. Pengandaianku
itu mungkin muncul di saat-saat aku begitu terkagum dengan prestasi-prestasiku
pribadi, tanpa melihat berbagai celah cela yang turut melingkupinya. Ceritanya,
niatan ini mulai muncul dan berkembang di sekitaran usiaku yang ke-16, di saat idealisme
dan skeptisme menjangkiti. Kala itu aku pernah mempunyai angan yang menjulang
tinggi, seperti kata para motivator di buku-buku inspirasi yang menyebutkan
bahwa “bermimpilah setinggi angkasa”, dan mungkin kelengkapan bacaanku waktu
itu masih terbatas, sehingga aku luput untuk melanjutkan larik berikutnya bahwa
“dunia ini milik para binatang buas yang liar nan perkasa”.
Aku merasa kala itu bahwa dunia ini bisa kucakup
hanya dengan duduk manis dan rajin belajar di sekolah. Mata
penglihatanku tak cukup jauh meneropong bahwa bangku sekolah hanyalah bagian
kecil dari larik-larik tak berhingga di pucuk cerita kehidupan. Akibat terlalu lelap dalam dunia sekolahku, aku
seperti gelagapan dalam membangun komunikasi di masyarakatku sendiri—sebab terlalu
lama mengisolasikan diri, hanya dan demi diriku sendiri untuk mendapatkan pujian sesaat tentang
rekam jejak prestasiku yang bisa dibilang membanggakan. Tapi apalah itu semua,
aku seperti merasa dihantui oleh keterjerumusanku sendiri percaya terlampau
jauh pada didikan televisi yang menyajikan gambaran-gambaran instan di alam
imajinasiku.
Bahkan bangunan mimpi yang hendak kucapai itu juga
terinspirasi pada daya-daya khayal bahwa dibalik yang realistis ada magic yang
bisa kuandalkan untuk memuaskan segala keinginanku. Penggambaran sederhananya
ialah aku pernah merasa bahwa setelah nanti menamatkan pendidikan, aku dengan
optimis akan bisa menjadi orang sukses mendadak, tanpa berfikir sukses dengan apa dan
melalui usaha yang seperti apa? Aku mungkin terlalu terbuai bahwa adegan-adegan
di sinetron adalah gambaran real tentang hidup, namun nyatanya tidak. Untuk
sukses banyak perintangnya, dan tidak bisa diraih dengan satu kemungkinan
potensi saja. Orang cerdas mungkin akan beruntung, orang kaya mungkin akan
beruntung, dan orang yang kaya dan cerdas pasti sangat beruntung dan aku
terletak di antara ketidakpastian cerdas dan kaya itu. Waktu itu aku masih tak
peduli untuk melakukan usaha-usaha pendisiplinan diri, penempaan keras
membangun kesibukan untuk menciptakan ketangguhan diri, dan segala kebutuhan
lainnya yang dewasa ini terasa penting. Sebab otak encer belum bernilai apa-apa
tanpa memiliki nyali untuk melakukan eksperimentasi, siap menang—siap kalah
dalam medan pertarungan hidup ini.
Apabila aku mulai berkeras, sadar untuk disiplin di
hari ini, rasanya gelimang-gelimang keinstanan masih tidak mati dalam
menusuk-nusukkan prilaku malasku, bahkan kepasrahan hati—dengan alibi
keberuntungan di berbagai kesempatan, mendesakkan lebih jauh akibat yang
tiada kenal toleransi dalam wujud yang tidak monolitik lagi. Walau bagaimanapun
juga, keterasinganku pada diri dan lingkunganlah yang selama ini menyebabkan
kepelikan di benak pikiran sosialku. Ada sesekali tanya bagiku “Bagaimana aku bisa
mempergunakan ketinggian ilmu yang kucecap jika aku tak pandai bersosialisasi
dengan orang-orang yang sebenarnya menungguku?”—adakah pula di dalam imaji
niatku itu terselip sebuah keinstanan bahwa aku kelak bisa merubah banyak orang
di sekitarku—padahal istiqomah berbuat baik itu sulit untuk dilakukan pada
praktiknya.
Aku mungkin tidak menulis rajut penyesalan, karena
benang-benang merahnya tidak akan mampu ditegakkan melalui pengulangan adegan,
karena segalanya telah ditelan oleh masa lampau. Ini bagiku adalah pelajaran
bahwa menjadi manusia itu tidak sederhana jika mau hidup di tengah-tengah
manusia lainnya, ada kompetisi, ada cela dan keunggulan, ada realitas dan
idealitas, maka kiranya perlu sekali lagi dengan cermat untuk melatih diri ini
dalam pergulatan-pergulatan yang lebih realistis dan tidak terkungkung pada
kenyenyakan di dalam alam ide yang sangat romantis untuk disenandungkan.
Di bilik kotak yang sempit ini, harus dengan jujur diakui
bahwa dilahirkan di alam yang serba canggih ini adalah anugerah, tapi di
peralat oleh kecanggihan yang berbuntut pada sikap pendiktean, konsumerisme dan
buta arah akan masa depan juga patut dipikirkan sebagai ancaman yang serius. Kecepatan
zaman di segala hal harus segera diimbangi dengan kenyataan bahwa menjadi rem
yang mengendalikan kecepatan juga penting agar ada nuansa kenikmatan menunggu,
kenikmatan jeda sela di dalam berbagai praktik aktivitas. Lagi pula magic-magic teknologi telah secara
jauh benar-benar meracuni mental—sebab efek kecanduannya yang lebih tinggi
levelnya melebihi efek kopi atau rokok, bahkan orang yang terlanjur
terkena candu barangkali menjadi sangat gila melebihi gilanya orang sakau—rela mengorbankan apapun dengan gila,
sebab telah termatikan kewaspadaannya, dan akhirnya hanya bisa menjadi penikmat
pasif atas kecanggihan—padahal konsumerisme mengarah pada pemiskinan di segala aspek, baik
mental maupun materiil.
Sendari itu semua berjalan, yang paling perlu
dipersiapkan adalah kemauan kita untuk tidak berhenti pada persipangan jalan di masa milenial ini demi memperkaya khasanah bekal ilmu dan hikmah,
serta sigap dalam membangun watak ekstra hati-hati dengan kedetailan nalar dalam mengikuti kecenderungan zaman yang sebagian
setingnya telah dikendalikan oleh motif-motif penguasaan politik dan ekonomi. Ancaman
hari esok untuk diri kita, saudara dan anak-anak di masa yang akan datang
tidaklah kecil, tidak sebatas soal penyiapan sumber daya manusia cerdas saja, melainkan juga menciptakan generasi dengan jangkauan nalar yang jauh lebih teduh, mudah sumringah, serta ramah ketimbang masa ini. Semua itu adalah bagian dari cara kita untuk membendung paradigma agama baru bernama globalisasi yang sudah menimbulkan
gejala keracunan budaya, agama, serta pola hidup masyarakat, termasuk di dalamnya
ketidakmampuan pemerintah dalam membendung segalanya itu. Apalah daya, tak ada benteng
terkuat kecuali memang kita berusaha untuk kuat, mengais kekuatan tersimpan dari potensi khas manusia Indonesia itu sendiri. Dengan usaha yang seperti apa lagi ? Semua
kembalinya pada diri sendiri, selalulah berjuang tanpa henti. [ * ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar