Menguliti sejarah berarti
berbicara tentang masa lalu. Disanalah ada pelaku, ada peristiwa dan ada
nilai-nilai yang terkandung dalam pengembangan organisasi. Gagasan sejarah pada
muaranya akan membawa kita pada pembahasan tentang kepemimpinan dari pada
pelaku-pelaku organisasi yang secara sentral dimainkan oleh seorang Pimpinan
Organisasi. Dengan tidak terlepas dari segi positif dan negatifnya, pelaku
sejarah itu kemudian dicatat untuk dipelajari kedalaman inovasinya dalam rangka
menegakkan sendi ideal dari kerja organisasi, disamping itu tipe-tipe
kepribadian dari pada pelaku-pelaku sejarah akan dicatat dalam bagian yang
tidak terpisahkan dalam mendorong idealisasi gagasan kepemimpinan di masa yang
akan datang. Begitulah roda organisasi berjalan tidak bisa lepas dari kenyataan
sejarah yang melingkupi perjalanannya hingga dewasa ini.
Pada perspektif sejarah inilah
kemudian pasang surut kepemimpinan dicatat dengan serius, dan terkadang secara
sadar harus diakui bahwa “persoalan
kepemimpinan adalah akar penentu dari segala keberhasilan organisasi.”
Dalam perjalanan waktu, organisasi diimpikan untuk selalu berdiri kuat, namun
pada faktanya dinamika figur pemimpin yang tampil di panggung tidak selamanya
mampu secara tunggal hadir sebagi pemimpin sentral yang dapat menuntaskan
segala soal. Di saat seperti itu maka kemungkinan yang harus dilakukan adalah
menjamin tampilnya sebuah tim kepemimpinan organisasi solid dan kompeten. Dan,
semua itu tidak dapat dilepaskan dari peran kaderisasi organisasi dalam
mencetak generasi penerus yang bisa melanjutkan estafet nilai-nilai
kepemimpinan organisasi.
Hingga hari ini tantangan untuk
membangun tim yang solid-kuat atau melahirkan satu pemimpin kuat menjadi
pekerjaan rumah yang pelik. Meski mestinya diketahui bahwa peliknya persoalan
harusnya ditingkatkan dengan naiknya daya usaha yang harus ditempuh. Jika hanya
diam dan mundur, salah sedikit saja dalam menyepelekan pembangunan kepemimpinan
yang kuat, dampaknya akan serius pada dinamika organisasi yang boleh jadi
ketimpangan maju dan mundurnya organisasi akan tergambar dalam grafik yang naik
turun tak kendai, berjurang atau menjulang setinggi awan.
Tantangan yang harus dijawab adalah
menciptakan suatu model yang mampu membangkitkan dua alternatif kepemimpinan
yang disebut di awal, yakni alternatif kepemimpinan oleh tim yang solid dan
kepemimpinan oleh satu orang kuat. Tantangan ini harus dijawab dengan cost
material, cost intelektual serta ruang waktu. Ada pepatah yang mengatakan bahwa
kerja sabar, kerja kontinu meski kecil lebih berarti ketimbang kerja besar
namun tidak kontinu. Meskipun asosiasi keduanya adalah sebuah model integral
yang harus saling ada. Namun tantangan dalam menciptakan model kepemimpinan
titik tekannya terletak pada proses yang membutuhkan kontinuitas kerja dan
pengasahan intelektual yang mantap. Dan selama ini, model itu belum ada,
sehingga harus diciptakan jika kesadaran atas mendesaknya persoalan kepemimpinan
menjadi paling utama dalam mengamankan stabilitas berorganisasi.
Penjabaran tentang model tim
solid dan seorang pemimpin kuat itu sendiri tidak boleh melupakan elemen-elemen
karakter organisasi yang setidaknya mengharapkan tiga warna kader organisasi.
Warna itu meliputi warna “loyalis”, warna
“intelktual-diplomatis-rasional”
dan warna “sosialis-komunikatif
emosinal”. Loyalis dibutuhkan untuk membentengi organisasi dan dalam
meneguhkan ikatan bersambung tak terpisahkan dengan organisasi. Intelektual dibutuhkan
dalam memecahkan persoalan, sebagai garda fungsional dalam mengatur gerak
organisasi agar berada pada rel hidupnya. Sedangkan sosialis-komunikatif
emosinal berperan dalam menciptakan suasana harmonis seimbang di dalam setiap
gerak langkah organisasi yang tak luput dari berbagai gejolak psikologisnya.
Jika diselami lebih fokus untuk
mengurai persoalan kepemimpinan, jawabannya sebenarnya cukup sederhana.
Organisasi harusnya memiliki sistem pendidikan kader terpadu. Organisasi
dalam hal ini harus sadar bahwa pendidikan terstruktur dan masif sangatlah
penting sebagai upaya penanaman doktrin-doktrin organisasi untuk menguatkan
posisi kader-kadernya. Perlu direnungkan pula bahwa hakekat dari pembatasan
tentang ditolaknya kader organisasi ekstra kampus, salah satu jawabannya adalah
dengan menciptakan kaderisasi yang mandiri dan tidak berpangku pada nasib
menunggu keberuntungan alam. Ingat sistem pendidikan yang kita ciptakan
adalah dalam rangka membangun model baru tentang tata berorganisasi yang di
banyak organisasi tidak tertata rapi, tidak saling kontinyu antar generasi,
yang kebanyakan tidak punya rasa untuk membantu dari kepengurusan sebelumnya ke
kepengurusan berikutnya.
Dengan segala kemungkinan potensi
keuangan, infrastruktur dan ketersediaan sumber daya manusia yang ada sekarang
ini. Sejatinya organisasi ini mampu jika sekedar menciptakan sebuah model
pendidikan kader berkelanjutan dalam frekuensi tertentu misalkan dua kali atau
satu kali tatap muka dalam satu bulan dengan fokus inti adalah mengumpulkan
segenap potensi staf organisasi untuk memiliki jarak pandang tentang dirinya
sebagai mahasiswa, dirinya dalam posisi dan tanggungjawab sebagai seorang
mahasiswa terpilih bernama Bidikmisi, dan posisi dirinya dalam bebas
mengembangkan alam pikiran yang eksploratif guna membentuk jati diri sejatinya
sebagai seorang pecinta, atau seorang loyalis, atau seorang intelektualis, atau
sekedar sebagai seorang penggembira yang tanpa patah asa memiliki nurani
Bidikmisi di dalam jiwanya. Lagi pula posisi basecamp Bidikmisi yang telah ada
harus dikelola dengan baik, dimanfaatkan dengan optimal. Dan jangan pernah
merasa di tinggal para alumni, daya voluntarian mereka masih bisa dimanfaatkan
sebagai sumber daya manusia yang gratis untuk merangkum kurikulum kaderisasi
kita sekaligus sebagai pengisi dari setiap acara kaderisasi rutin dalam tujuan
menanamkan doktrin-doktrin organisasi.
Patut juga di ingat, kita harus
membuka mata dengan kenyataan bahwa proses kaderisasi ternyata juga berdampak
pada masa depan kontribusi alumni Bidikmisi yang pada dasarnya tidak punya satu
alasan untuk mengikatkan mereka dalam satu kesatuan padu untuk peduli pada
apapun juga. Misteri di depan mata kita adalah apakah alumni organisasi bisa
menjadi pioneer dalam menciptakan gerakan balas budi, ataukan seperti
kebanyakan organisasi lainnya, setelah lepas jabatan, lepaslah beban, tinggal
pergi tanpa punya rasa soliditas untuk terus berkarnya merangkum kebersamaan
hingga tanpa putus di masa depan. Hari ini dengan segala spectrum jangkauan,
hal yang paling mengancam ketika sistem doktrin kader, sistem penguatan
jaringan kekeluargaan tidak berjalan salin bersambung antar generasi, jelas di
masa depan, kita akan melihat kesuksesan alumni Bidikmisi yang berdiri
sendiri-sendiri, namun sekali lagi berdiri sendiri-sendiri dengan kesuksesan
dan kesombongan bahkan dengan keangkuhannya menutup mata pada derita kaum kecil
sebagaimana fenomena-fenomena birokrat hasil beasiswa di hari ini. Jelas ini
ancaman yang serius, dan jika organisasi semacam kita ini ternyata juga
melanggengkan sistem semacam itu, sistem kepriyayian, maka petakalah organisasi
ini berat didirikan hanya untuk panggung yang terpetak dalam masa depan berjuta
suku, dalam masa depan yang sia-sia tanpa persatuan. Maka persatuan dan
persatuan, kesadaran dan kesadaran, belajar dan belajar, gotong royong dan
saling percaya adalah ruh penting bagi terciptanya jalinan yang hendak kita
bangun dalam mimpi bersama bagi bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar