• Kelas Kecil Kepemimpinan (2)




    Menguliti sejarah berarti berbicara tentang masa lalu. Disanalah ada pelaku, ada peristiwa dan ada nilai-nilai yang terkandung dalam pengembangan organisasi. Gagasan sejarah pada muaranya akan membawa kita pada pembahasan tentang kepemimpinan dari pada pelaku-pelaku organisasi yang secara sentral dimainkan oleh seorang Pimpinan Organisasi. Dengan tidak terlepas dari segi positif dan negatifnya, pelaku sejarah itu kemudian dicatat untuk dipelajari kedalaman inovasinya dalam rangka menegakkan sendi ideal dari kerja organisasi, disamping itu tipe-tipe kepribadian dari pada pelaku-pelaku sejarah akan dicatat dalam bagian yang tidak terpisahkan dalam mendorong idealisasi gagasan kepemimpinan di masa yang akan datang. Begitulah roda organisasi berjalan tidak bisa lepas dari kenyataan sejarah yang melingkupi perjalanannya hingga dewasa ini.

    Pada perspektif sejarah inilah kemudian pasang surut kepemimpinan dicatat dengan serius, dan terkadang secara sadar harus diakui bahwa “persoalan kepemimpinan adalah akar penentu dari segala keberhasilan organisasi.” Dalam perjalanan waktu, organisasi diimpikan untuk selalu berdiri kuat, namun pada faktanya dinamika figur pemimpin yang tampil di panggung tidak selamanya mampu secara tunggal hadir sebagi pemimpin sentral yang dapat menuntaskan segala soal. Di saat seperti itu maka kemungkinan yang harus dilakukan adalah menjamin tampilnya sebuah tim kepemimpinan organisasi solid dan kompeten. Dan, semua itu tidak dapat dilepaskan dari peran kaderisasi organisasi dalam mencetak generasi penerus yang bisa melanjutkan estafet nilai-nilai kepemimpinan organisasi.

    Hingga hari ini tantangan untuk membangun tim yang solid-kuat atau melahirkan satu pemimpin kuat menjadi pekerjaan rumah yang pelik. Meski mestinya diketahui bahwa peliknya persoalan harusnya ditingkatkan dengan naiknya daya usaha yang harus ditempuh. Jika hanya diam dan mundur, salah sedikit saja dalam menyepelekan pembangunan kepemimpinan yang kuat, dampaknya akan serius pada dinamika organisasi yang boleh jadi ketimpangan maju dan mundurnya organisasi akan tergambar dalam grafik yang naik turun tak kendai, berjurang atau menjulang setinggi awan.

    Tantangan yang harus dijawab adalah menciptakan suatu model yang mampu membangkitkan dua alternatif kepemimpinan yang disebut di awal, yakni alternatif kepemimpinan oleh tim yang solid dan kepemimpinan oleh satu orang kuat. Tantangan ini harus dijawab dengan cost material, cost intelektual serta ruang waktu. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kerja sabar, kerja kontinu meski kecil lebih berarti ketimbang kerja besar namun tidak kontinu. Meskipun asosiasi keduanya adalah sebuah model integral yang harus saling ada. Namun tantangan dalam menciptakan model kepemimpinan titik tekannya terletak pada proses yang membutuhkan kontinuitas kerja dan pengasahan intelektual yang mantap. Dan selama ini, model itu belum ada, sehingga harus diciptakan jika kesadaran atas mendesaknya persoalan kepemimpinan menjadi paling utama dalam mengamankan stabilitas berorganisasi.

    Penjabaran tentang model tim solid dan seorang pemimpin kuat itu sendiri tidak boleh melupakan elemen-elemen karakter organisasi yang setidaknya mengharapkan tiga warna kader organisasi. Warna itu meliputi warna “loyalis”, warna “intelktual-diplomatis-rasional” dan warna “sosialis-komunikatif emosinal”. Loyalis dibutuhkan untuk membentengi organisasi dan dalam meneguhkan ikatan bersambung tak terpisahkan dengan organisasi. Intelektual dibutuhkan dalam memecahkan persoalan, sebagai garda fungsional dalam mengatur gerak organisasi agar berada pada rel hidupnya. Sedangkan sosialis-komunikatif emosinal berperan dalam menciptakan suasana harmonis seimbang di dalam setiap gerak langkah organisasi yang tak luput dari berbagai gejolak psikologisnya.

    Jika diselami lebih fokus untuk mengurai persoalan kepemimpinan, jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Organisasi harusnya memiliki sistem pendidikan kader terpadu. Organisasi dalam hal ini harus sadar bahwa pendidikan terstruktur dan masif sangatlah penting sebagai upaya penanaman doktrin-doktrin organisasi untuk menguatkan posisi kader-kadernya. Perlu direnungkan pula bahwa hakekat dari pembatasan tentang ditolaknya kader organisasi ekstra kampus, salah satu jawabannya adalah dengan menciptakan kaderisasi yang mandiri dan tidak berpangku pada nasib menunggu keberuntungan alam.  Ingat sistem pendidikan yang kita ciptakan adalah dalam rangka membangun model baru tentang tata berorganisasi yang di banyak organisasi tidak tertata rapi, tidak saling kontinyu antar generasi, yang kebanyakan tidak punya rasa untuk membantu dari kepengurusan sebelumnya ke kepengurusan berikutnya.

    Dengan segala kemungkinan potensi keuangan, infrastruktur dan ketersediaan sumber daya manusia yang ada sekarang ini. Sejatinya organisasi ini mampu jika sekedar menciptakan sebuah model pendidikan kader berkelanjutan dalam frekuensi tertentu misalkan dua kali atau satu kali tatap muka dalam satu bulan dengan fokus inti adalah mengumpulkan segenap potensi staf organisasi untuk memiliki jarak pandang tentang dirinya sebagai mahasiswa, dirinya dalam posisi dan tanggungjawab sebagai seorang mahasiswa terpilih bernama Bidikmisi, dan posisi dirinya dalam bebas mengembangkan alam pikiran yang eksploratif guna membentuk jati diri sejatinya sebagai seorang pecinta, atau seorang loyalis, atau seorang intelektualis, atau sekedar sebagai seorang penggembira yang tanpa patah asa memiliki nurani Bidikmisi di dalam jiwanya. Lagi pula posisi basecamp Bidikmisi yang telah ada harus dikelola dengan baik, dimanfaatkan dengan optimal. Dan jangan pernah merasa di tinggal para alumni, daya voluntarian mereka masih bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya manusia yang gratis untuk merangkum kurikulum kaderisasi kita sekaligus sebagai pengisi dari setiap acara kaderisasi rutin dalam tujuan menanamkan doktrin-doktrin organisasi. 

    Patut juga di ingat, kita harus membuka mata dengan kenyataan bahwa proses kaderisasi ternyata juga berdampak pada masa depan kontribusi alumni Bidikmisi yang pada dasarnya tidak punya satu alasan untuk mengikatkan mereka dalam satu kesatuan padu untuk peduli pada apapun juga. Misteri di depan mata kita adalah apakah alumni organisasi bisa menjadi pioneer dalam menciptakan gerakan balas budi, ataukan seperti kebanyakan organisasi lainnya, setelah lepas jabatan, lepaslah beban, tinggal pergi tanpa punya rasa soliditas untuk terus berkarnya merangkum kebersamaan hingga tanpa putus di masa depan. Hari ini dengan segala spectrum jangkauan, hal yang paling mengancam ketika sistem doktrin kader, sistem penguatan jaringan kekeluargaan tidak berjalan salin bersambung antar generasi, jelas di masa depan, kita akan melihat kesuksesan alumni Bidikmisi yang berdiri sendiri-sendiri, namun sekali lagi berdiri sendiri-sendiri dengan kesuksesan dan kesombongan bahkan dengan keangkuhannya menutup mata pada derita kaum kecil sebagaimana fenomena-fenomena birokrat hasil beasiswa di hari ini. Jelas ini ancaman yang serius, dan jika organisasi semacam kita ini ternyata juga melanggengkan sistem semacam itu, sistem kepriyayian, maka petakalah organisasi ini berat didirikan hanya untuk panggung yang terpetak dalam masa depan berjuta suku, dalam masa depan yang sia-sia tanpa persatuan. Maka persatuan dan persatuan, kesadaran dan kesadaran, belajar dan belajar, gotong royong dan saling percaya adalah ruh penting bagi terciptanya jalinan yang hendak kita bangun dalam mimpi bersama bagi bangsa dan negara.






  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar