Selain jeli, teliti dan detail. Sekelumit keunggulan para
pembelajar Matematika ialah kemampuannya untuk mengamati apapun juga dalam
karakter-karakter kesamaan yang telah ditelisiknya lewat formulasi baku dari
pengalaman yang telah dilewatinya. Pada saat bersamaan itulah jangan heran,
seorang pengamat akan mampu memberikan tanda warna pada pola-pola lama dan baru
yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk disambung-sambungkan dengan titik
dan garis-garis ruang yang ia mulai raba dalam imajinasi kreasinya, yang
tentunya berdasar pada akar definisi yang kuat menurut keyakinannya. Melalui
itu semualah, sebuah bangun kerangka setengah jadi—meski kadang abstrak, mampu
berwujud dalam hipotesi gagasan yang sudah sangat geometris ditebak, walaupun
pula kemudian butuh akselerasi bertahap disertai dengan uji coba-uji coba di
dalam kemudian mewujudkan imajinasi abstrak tersebut menjadi teorema praksis
yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Para pengamat
yang menerapkan konsep matematika juga sangat tahu, bahwa proses alami bernama
eksplorasi yang dilakukannya itu barangkali tidak akan selalu benar—justru
koreksi dan pementahan sangat dibutuhkan dalam proses kreatif pemetaan menuju
pada penciptaan sebuah gagasan baru. Dari situlah Einstein menyarankan bahwa
para ilmuan agaknya lebih banyak memaparkan seluruh kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukannya disamping memaparkan temuan ide briliannya yang teruji.
Saran Einstein ini sejalan dengan kenyataan bahwa di meja
Matematika banyak cara menuju pembuktian atas kebenaran, kita tinggal memilih
akan menggunakan bukti langsung, menggunakan induksi matematika, kontradiksi
atau yang lainnya. Semua cara pembuktian itu pada dasarnya akan menuju satu
kebenaran dan kebaikan, namun kebaikan dan kebenaran Matematika selalu berujung
pada kesepakatan-kesepakatan formulatif yang saling mengiyakan dalam
memudahkan—mendiskripsikan sederhana saja dari kompleksitas hukum alam yang
berlaku.
Kompleksitas yang diperumum lebih sederhana itu kemudian
menjadikan banyak pekerja Matematika lebih banyak menikmati kesunyian karena
keterasingannya yang hanya ditemani oleh konsep-konsep matematis yang terkadang
membutuhkan energi yang besar sebelum di ungkapkannya sebagai bagian dari
kenyataan ilmiah. Matematikawan dalam hal ini memang tidak begitu tertarik
dengan kecenderungannya dalam menjawab isu-isu kontemporer. Contoh sederhananya
ialah ketika dunia dibuat bising oleh lelucon “bumi bulat atau datar”, seorang
Matematikawan ITB, Hendra Gunawan lewat kebebasannya dalam memilih, justru
masih terus asyik-masyuk bermain-main dengan lingkaran, dengan
lengkungan-lengkungan, dengan titik-titik sudut pada lingkaran dan tentang
definisi dari lingkaran itu sendiri. Inilah gaya Matematikawan, tidak goyah
berpindah pada lain hati—teguh tak tergoda mengikuti hasrat kebutuhan
kontemporer.
Barangkali justru jawaban perdebatan tentang bulat atau datar itu
sendiri, titik simpulnya bisa saja dikemudian hari dijawab oleh Matematika
dengan definisi baru. Bisa saja kita mengintepretasikan ulang bahwasanya bumi dan
dunia adalah dua sekawan yang saling beririsan. Kita tidak memungkiri bahwa
bumi memang bulat seperti bola pejal, namun dunia ini barangkali akan lebih
luas, lebih padat, lebih terhampar, dan bisa juga mendatar dengan komposisi
padat atas bawah, tinggi lebar yang tak berujung. Lagi pula, dunia maya yang
disebut sebagai dunia baru manusia modern itu, bentuknya juga datar di dalam
gawai-gawai, atau mainan ajaib kita itu.
So nice untuk Matematika yang telah meneliti pola-pola alam ini
dari titik, garis, hingga wujud benda ruang geometris dalam dimensi ruang,
waktu, dan dimensi cahaya semesta raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar