• TIGA WAYANG


    MEREPRODUKSI-menerbit ulangkan dan merevisi tulisan lampau, menyoal hal-hal yang masih misterius. Dan inilah narasi tulisan berjudul “Sense of Competency” beberapa bulan silam.

    ***
    BAGIAN PERTAMA

    PARA DALANG—berbeda pandang saat memainkan lakon carangan “Petruk Dadi Ratu”. Mereka terbelah tentang sisi ke-Punakawanan Petruk yang mencecap ilmu hidup dari Panembahan Semar, sedangkan di sisi lain Petruk ialah anak gandarwa, yang diindikasikan bisa lebih brutal watak nafsunya ketimbang manusia pada umumnya. Namun kenapa Petruk bisa menjadi Ratu, inilah yang perlu ditelusuri. Adakah kegentingan situasi, adakah carut marut situasi, atau sebenarnya Petruk itu sendirilah yang memang Ratu “asli” dari berbagai cerita pewayangan.
      ***
    BAGIAN KEDUA

    ARJUNA—tokoh utama perkasa nan berparas di dalam segmen babon Mahabarata.
    Ia jauh lebih lentur memainkan kelihaiannya dengan filsafat cinta—sehingga ia bisa dikatakan sebagai pemersatu utama di balik militeristik Bima dan ketenangan jernih seorang Puntadewa. Sebagian besar jalan hidup Arjuna ialah berkelana—bertapa di berbagai tempat, menyerap hawa hidup dalam lelaku “tapa ngrame”, olah jiwa yang tidak melepaskan kesalehan pribadi yang integral dengan kesalehan sosial.
    ***
    BAGIAN KETIGA
    BASUKARNA—putra angkat seorang kusir. Secara biologis ia masih keturunan darah dari Dewi Kunti dan sering disebut sebagai Suryaputra—cahaya penerang yang silih berganti harus mati, karena surya di alam raya hanyalah satu seorang yang termanifestasi dalam diri saudaranya, Arjuna.
           Dalam jalan agung penumpasan sebuah bangsa yang terkenal itu di padang Kuruseta. Basukarna memilih mengemban janjinya setia atas sumpah yang dipegangnya kepada Suyudana Prabu. Resapan spiritual di dalam diri Basukarna telah dengan subtantif menjelaskan bahwa dalil “nasionalisme” membela Hastinapura lebih tinggi ketimbang mengikuti bujukan sang ibu biologis—yang secara sengaja menghanyutkannya di arus Ganga. Basukarna mungkin tidak hendak makar pada kehendak Ibunya, tapi Basukarna tidak pula hendak makar pada sumpahnya di atas kesaksian seisi alam raya.
          Keperwiraannya diabadiakan Sri Mangkunegara sebagai contoh ksatria “nasionalis” dalam Serat Tripama. Gugurnya Basukarna di medan tempur ialah panggilang janji. Mesti terisak dengan hati teriris, Kunti sendiri tahu “setiap hutang akan berbalas pula”.

    ***
     
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar