Malas senja menuju peraduannya, penanda kian dekat datangnya hari gelap itu. Di
lapangan gersang dibawah sorot senja. Dua trah Baratha seolah bergeming
dengan keyakinannya. Esok perang kan tiba dengan sendu dan sedannya.
Bila yang jauh mendekat, kini saudara harus diperangi, meraka menjadi musuh dalam tatapan wajah yang dingin. Dan bila langit menyangsikan keadilan, kinilah saatnya darah tercurah sebagai janjii pembersihan jiwa demi memuji keadilan Dewata.
Dan tak ada teman abadi, sejak awal mula darah tertumpah tak jauh dari cerita manusia. Begitulah sebabnya, seribu bala tentara itu siap beradu, tinggal menunggu aba-aba. Pandawa dan Kurawa dua trah Bharata yang kini hendak memperadukan nasib dalam pijak genggamannya.
Datulaya suram. Tempat tinggal
Sri Raja bagaikan goa gelap penuh sarang laba-laba yang usang. Lorong-lorong
istana seperti kehilangan penghuni, lampu-lampu penerangan juga tidak seperti
biasanya. Tempat agung itu mungkin sudah mulai kehilangan kewibawaannya,
kesuciannya sudah luntur terongrong oleh hawa angkara.
Lara hati kian terasa, istana yang mulai senyap, dan kesepiannya merasuk mendalam, dihayati betul oleh Sri Prabu Dretarasta. Ia yang bagai orang buangan, terhempas nasehatnya dan dicampakan larangan-larangannya, kini terbaring lesu memikirkan anak-anaknya itu yang bebal dan tak bisa ditahan. Ada rasa teriris-iris bagaikan bawang yang disayat hingga mengucurkan air mata keperihan di pandangan mata hatinya.
Apalah artinya sebuah kebesaran. Raja tua itu seolah menyesali dirinya sendiri. Istana yang diperebutkan itu bukankah hanya perhiasan bisu yang bisa rusak digempur waktu dan dirongrong panas angkara. Dia menggugat-gugat kepergian Pandu yang membawa keputusan panjang sehingga berdampak besar pula pada masa depan keseratus putranya tersebut.
"Ini sudah kehendak dewa". Tepatkah jawaban itu. Barangkali dewa juga penuh angkara dan tak punya kasih sayang, sehingga perang dikatakannya sebagai sebuah kepastian pembalasan atas sifat kejahatan oleh para Kurawa.
Mungkin apa yang diharapkan oleh banyak orang bisa dikabulkan, dan Bharatayudha memang gambaran pengharapan dari para dewa dan para resi. Dibenak mereka, itu adalah ketetapan "atas datangnya nasib itu" pungkas cerita Resi Wiyasa.
Dretarasta yang menahan dirinya dengan sesekali mengucur rasa penyesalannya, mendengar tuntas awal dan akhir Bharatayuda yang oleh Ayahandanya itu dipaparkan runut tanpa cela.
Resi Wiyasa bukan datang untuk membebani Dretarasta, justru resi tua itu hendak menguatkan anaknya yang tuna netra agar siap menerima hukuman dewata. Apalagi kalau tidak berlapang hati.
"Ayahanda tidak cukup hanya bercerita." pintanya dengan suara serak menanggung gejolak.
Resi Wiyasa sadar bahwa putranya itu berharap cerita yang dia sampaikan salah. Dipenuhilah apa permintaan putranya itu. Meski Raja itu tuna netra, namun dia punya juru bahasa bernama Sanjaya yang dapat dipercaya.
"Sanjaya mendekatlah" tiba-tiba juru bahasa itu ditiup matanya oleh Resi Wiyasa.
Belum terbuka tabir Bharatayudha tanpa kenyataan. Sanjayalah yang akan bercerita atas kejadian-kejadian di padang Kurusetra.
"netra-dewata" Sanjaya bisa melihat kejadian nun jauh di padang tempur itu jelas seperti di depan matanya.
Tatkala perang yang sama-sama tidak menanggung jiwa ksatria itu pecah. Sanjaya tiada siang, tiada malam setia berujar. Dia bagaikan betet yang nyanyiannya terkadang menggembirakan, tapi banyak kabar-kabar duka datang dan itu menyengsarakan Dretarasta.
Pada gilirannya Dretarasta mendengar nama-nama itu yang gugur di medan laga, baik dari Pandawa maupun Kurawa. Hatinya selalu menjerit dibuatnya. Tamatlah riwayat 100 bersaudara itu, ketika Duryudana gugur. Tersigarlah hati sang Ayah itu.
Dretarastra tersungkur.-perang pembalasan berakhir.
Bila yang jauh mendekat, kini saudara harus diperangi, meraka menjadi musuh dalam tatapan wajah yang dingin. Dan bila langit menyangsikan keadilan, kinilah saatnya darah tercurah sebagai janjii pembersihan jiwa demi memuji keadilan Dewata.
Dan tak ada teman abadi, sejak awal mula darah tertumpah tak jauh dari cerita manusia. Begitulah sebabnya, seribu bala tentara itu siap beradu, tinggal menunggu aba-aba. Pandawa dan Kurawa dua trah Bharata yang kini hendak memperadukan nasib dalam pijak genggamannya.
***
Lara hati kian terasa, istana yang mulai senyap, dan kesepiannya merasuk mendalam, dihayati betul oleh Sri Prabu Dretarasta. Ia yang bagai orang buangan, terhempas nasehatnya dan dicampakan larangan-larangannya, kini terbaring lesu memikirkan anak-anaknya itu yang bebal dan tak bisa ditahan. Ada rasa teriris-iris bagaikan bawang yang disayat hingga mengucurkan air mata keperihan di pandangan mata hatinya.
Apalah artinya sebuah kebesaran. Raja tua itu seolah menyesali dirinya sendiri. Istana yang diperebutkan itu bukankah hanya perhiasan bisu yang bisa rusak digempur waktu dan dirongrong panas angkara. Dia menggugat-gugat kepergian Pandu yang membawa keputusan panjang sehingga berdampak besar pula pada masa depan keseratus putranya tersebut.
"Ini sudah kehendak dewa". Tepatkah jawaban itu. Barangkali dewa juga penuh angkara dan tak punya kasih sayang, sehingga perang dikatakannya sebagai sebuah kepastian pembalasan atas sifat kejahatan oleh para Kurawa.
Mungkin apa yang diharapkan oleh banyak orang bisa dikabulkan, dan Bharatayudha memang gambaran pengharapan dari para dewa dan para resi. Dibenak mereka, itu adalah ketetapan "atas datangnya nasib itu" pungkas cerita Resi Wiyasa.
Dretarasta yang menahan dirinya dengan sesekali mengucur rasa penyesalannya, mendengar tuntas awal dan akhir Bharatayuda yang oleh Ayahandanya itu dipaparkan runut tanpa cela.
Resi Wiyasa bukan datang untuk membebani Dretarasta, justru resi tua itu hendak menguatkan anaknya yang tuna netra agar siap menerima hukuman dewata. Apalagi kalau tidak berlapang hati.
"Ayahanda tidak cukup hanya bercerita." pintanya dengan suara serak menanggung gejolak.
Resi Wiyasa sadar bahwa putranya itu berharap cerita yang dia sampaikan salah. Dipenuhilah apa permintaan putranya itu. Meski Raja itu tuna netra, namun dia punya juru bahasa bernama Sanjaya yang dapat dipercaya.
"Sanjaya mendekatlah" tiba-tiba juru bahasa itu ditiup matanya oleh Resi Wiyasa.
Belum terbuka tabir Bharatayudha tanpa kenyataan. Sanjayalah yang akan bercerita atas kejadian-kejadian di padang Kurusetra.
"netra-dewata" Sanjaya bisa melihat kejadian nun jauh di padang tempur itu jelas seperti di depan matanya.
Tatkala perang yang sama-sama tidak menanggung jiwa ksatria itu pecah. Sanjaya tiada siang, tiada malam setia berujar. Dia bagaikan betet yang nyanyiannya terkadang menggembirakan, tapi banyak kabar-kabar duka datang dan itu menyengsarakan Dretarasta.
Pada gilirannya Dretarasta mendengar nama-nama itu yang gugur di medan laga, baik dari Pandawa maupun Kurawa. Hatinya selalu menjerit dibuatnya. Tamatlah riwayat 100 bersaudara itu, ketika Duryudana gugur. Tersigarlah hati sang Ayah itu.
Dretarastra tersungkur.-perang pembalasan berakhir.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar