• Sebuah Ruang Ceramah




    Anggaplah ini bukan sebuah tulisan, karena saya yakin saya sedang berbicara dan bukan sedang menuliskan sesuatu untuk kalian. Apabila kalian sepakat dengan pendapat saya itu, maka dengan berat hati saat ini saya mungkin sedang di hadapan kalian menunggu giliran untuk berbicara, sedangkan kalian sekarang sedang duduk rapi untuk mendengarkan sebuah ceramah. Dan ceramah yang akan saya bawakan ini barangkali adalah ceramah yang keluar dari mulut seseorang yang mungkin paling kalian benci atau mungkin dengan kerendahan yang luas di hati kalian, kalian berprasangka untuk mendengarkan ceramah dari seseorang yang paling kalian kagumi.

    Pertama, saya ingin membawa kalian bahwa pada dasarnya saya adalah dua. Saya yang pertama adalah saya yang kalian tidak ketahui, dan saya yang kedua adalah prasangka kalian tentang saya. Maka saya ingin mengajak agar kalian jangan pernah merasa saya ini lebih baik dari kalian. Anggaplah bahwa saya adalah orang dengan beribu sikap yang menjengkelkan, menyusahkan dan sangat tidak berguna bagi dunia kalian. 

    Tapi perkenankanlah kalian untuk menganggap pula bahwa sesekali saya juga bisa menjadi baik. Saya bisa juga menjadi teman kalian, saya sesekali juga bisa kalian manfaatkan dalam rangka kemaslahatan. Dan saya memang dua, tapi saya satu, saya adalah orang yang memaksakan diri untuk berceramah di hadapan kalian melalui teks ini.

    Maka sebelum saya benar-benar berbicara dari kedalaman pikiran semampu-mampu yang saya miliki. Dengan penuh bermohon untuk sejenak saja, di hari ini, di jam ini, anggaplah aku dan kalian adalah dua sahabat erat yang tidak perlu saling menasehati. Tapi karena keakraban, karena rasa kecocokan, karena kedalaman cinta yang tumbuh dan bersemi, saya harap apapun yang akan keluar dari ceramah saya ini, anggaplah semua itu adalah sebuah perdebatan dua arah, sebuah diskusi yang tiada akhir untuk selalu dan selalu menjadikan kita bersama, menjadi dua sahabat yang tidak terputuskan oleh tali perintang apapun. Dan maafkanlah jika ada satu dua hal yang akan mengusik kedamaian hati kalian dari isi ceramah saya ini.

    Kumulai ceramahku dari cerita ini.

    Beberapa hari yang lalu saya diajak seorang teman untuk berbicara. Dan kebetulan pembicaraan kami ini adalah tentang kalian, tentang sebuah jalinan kekeluargaan, dan semua itu kami bicarakan untuk saya ungkapkan pada hari ini.

    Aku sebenarnya sangat berat untuk menuliskan pembicaraan ini, aku dimintanya untuk menuliskan sebuah lukisan tentang loyalitas, dan itu bagiku adalah tema yang sangat luas untuk dikonstruksikan sekadar dalam beberapa halaman saja.

    Bagiku ada dua hal yang pantang di tolak, pertama adalah rezeki, dan yang kedua adalah kehormatan. Dengan penuh keraguan permintaan temanku untuk menuliskan lukisan tentang loyalitas itu kusanggupi sebab aku tahu itu adalah kehormatan bagi seorang diriku yang diberikan kepercayaan untuk menuliskan sesuatu yang barangkali sulit dibedah secara presisi.

    Kalian tentu tahu. Loyalitas itu tidak bisa dideklamasikan, maka sendari awal saya mengajak kalian untuk berbicara bukan untuk sekedar membaca tulisan saya ini.

    Saya bukan seorang loyalis, dan uraian ini saya tegaskan di awal untuk dipahami bahwa saya hingga detik ini masih terus berusaha menjadi seorang loyalis dengan melakukan pencarian/eksperimentasi terus menerus tiada henti.

    Pertama kali dan hingga hari ini, niat dan hati saya masih sama, setiap ceramah saya untuk kalian adalah untuk mengkoreksi loyalitas saya, dan saya bukanlah orang yang mampu melahirkan loyalis-loyalis baru.

    Entah kenapa, saya harus akui bahwa saya punya kecocokan di sini, saya punya perasaan yang lebih disini, dan saya merasa mendapatkan tempat di sini, dan saya juga merasa harapan masa depan yang saya impikan bisa dirintis dari tempat di mana kalian berpijak saat ini.

    Saya juga masih bingung kenapa ada yang terus mengatakan kepada saya “Kamu harus move on. Kamu harus lebih besar dari tempatmu itu”. Ketika orang dekat saya menarik saya dengan ungkapan itu, justru saya semakin takut untuk menjauh. Apa yang dikatakannya tentang “move on”, justru memantikku bertanya. Adakah yang salah di pikiran dan hatinya, atau justru yang salah dengan pikiran dan hati itu adalah aku?

    Aku tidak sedang berceramah tentang isi terdalam dari loyalitas. Tapi kata “move on” menurutku adalah sebauh kata tanpa penghayatan.

    Penghayatan, perenungan, pencarian, bagiku adalah akar jiwa. Dan dalam perasaan cinta yang terus kita tempuh, “move on” adalah ungkapan para kuli yang hanya mencari nafkah, dan aku tak mau menjadikan perasaanku sebagai bahan mainan yang meraba-raba tanpa kepastian, dan kesetiaan itu bagiku adalah kesucian.

    Aku selalu yakin dengan kesucian itu sehingga baik teman, sahabat, orang yang kupercaya, mereka memiliki tingkatan-tingkatan berbeda dalam diriku, ada yang kutempatkan sebagai sekunder, ada yang harus kubela mati-matian, ada yang hanya sekedar sebatas teman bicara belaka. Maka jangan heran jika ruang privasiku merupakan bagian dari sesuatu yang aku pahami sebagai kesakralan, dan di sanalah jelas tidak sembarang orang akan kubukakan untuk tahu. Itulah pengetahuanku tentang orisinalitas kualitas, itulah kenikmatan dari cita rasa, dan itulah kesucian jika memang kita mengikrarkan kesetiaan pada kualitas penghayatan.

    Dan semakin kesini, ketika jarak kita semakin jauh, ketika fisik kita dibatasi oleh ruang dan dinding-dinding kepantasan, entah kenapa semua itu menjadi semakin menakutkan, saya semakin dihantui oleh perasaan kekhawatiran untuk melepaskan kalian semakin jauh dari jarak yang saya ambil sekarang ini.

    Dan ingin saya tegaskan bahwa saya tidak sedang berbicara tentang fakta dan kondisi kalian sekarang, namun saya bicara tentang isi mata seseorang yang merasa harus memautkan kesetiaannya pada tempat ini. Artinya jika saya berkata bahwa saya semakin takut, maka ketakutan itu bukan menjadi penghakiman atas baik buruknya kondisi kalian sekarang, melainkan saya sedang membedah  ungkapan-ungkapan yang terkadang semakin tidak saya mengerti sendiri, dan jika kalian sudah mengecap sedikit makna kesetiaan, kalian pastilah tahu apa yang saya maksudkan ini.

    Dan jika kalian merasa harus mendramatisirnya, sesungguhnya yang membuat saya terasa makin takut adalah perputaran waktu yang dengan niscaya tidak akan mengumpulkan terus menerus kita dalam ruang dan hati yang sama.

    Hari ini, kita mungkin satu warna di tempat ini, barangkali esok kita masih bangga dengan identitas yang kita miliki bersama. Tapi seiring waktu, dari satu kedua, dari dua ke lima, dari lima menjadi sekian banyak, barangkali rantai-rantai bernama ikatan kita akan semakin terputus satu demi satu. Dan saya merasa cukup tercengkeram jika dari ratusan kalian, dari ribuan kalian, dan dari yang ada di ruangan ini, kemudian tak ada satupun yang merasa punya perpautan rasa untuk bertahan hingga berlapis-lapis generasi.

    Kalau kalian tahu, saya hingga hari ini masih bertahan dengan segala cara, dan akan berusaha terus bertahan, meski bukan untuk sebagai teladan, namun panggilan dan tugas sepertinya belum usai untuk dikerjakan.

    Saya selama ini masih berusaha untuk tahu dengan segala kesibukan kalian, dan atas segala aktivitas yang sebenarnya telah mulai membebani diri ini. Dan apa yang saya dapatkan dari semua itu tidak lain ialah keyakinan dari dalam diri saya sendiri, bahwa kaitan saya dan kalian sama, kaitan rahim dan identitas kita sama. Mimpi saya masih sama, dan pundak harapan itu akan terangkai dengan ringan jika kalian dan saya bisa bekerjasama, bisa mempunyai satu visi dan misi bersama-sama melalui titik pijak di tempat ini untuk melangkah pada panggilan pengabdian yang sesungguhnya.

    Lagi pula, dengan cara-cara itulah saya mencoba memastikan diri, bahwa tidak ada gejolak yang berarti di tengah-tengah pergolakan yang makin lesu, makin mati rasa, makin kehilangan ruh perjuangan hidup.

    Dan tentunya saya tak ingin mendengar hal-hal buruk pada tempat kita berpijak ini. Apapun caranya kita harus terus menghidup-hidupkan gerakan ini, Kerajan kecil ini harus tegak untuk besar dan tak boleh diusik oleh kekuatan-kekuatan jahat yang berusaha menumbangkannya.

    Maka kuajak kalian untuk menetapkan hati dengan rasa kasih dan sayang.  Karena kerja yang tidak didasari oleh kemurnian perbuatan, adalah bagaikan rumah tanpa penghuni, hambar tanpa rasa, tanpa penghayatan. Oleh karenanya tatkala kalian berbicara untuk mengabdi, maka sudah saatnya niat dalam pengabdian itu dijawab dengan total. Apa yang diabdikan harus jelas, untuk apa mengabdi harus tahu, dan kenapa harus mengabdi, itu harus diluruskan setegak-tegaknya. Dari sanalah rangkaian kesempurnaan untuk meraih kesetiaan akan tumbuh karena berlandaskan cinta kasih.

    Tapi jika kalian terus merasa tidak bertemu dengan hati yang nyaman, maka cukuplah untuk berusaha menanamkan proporsi kebahagiaan. Karena kesetiaan itu sejatinya ada pada diri kalian sendiri, pada satu tahapnya kalian tidak akan pernah merasa kecewa dengan apapun juga.


    Masih tentang kesetiaan. Saya pernah mendengar teman saya memuji seorang teman tentang keloyalannya, tentang tak pentingnya sebuah jabatan. Ia yang saya ceritakan ini adalah seorang yang tidak punya keterpautan kedudukan tinggi pada tempat ini, namun saya sendiri merasa bangga, bahwa dia tak pernah merasa nomer dua, dan hingga hari ini, selalu saja kehadirannya itu selalu bisa kita andalkan di dalam lingkaran persahabatan kami bersama.

    Saya juga terkadang tercenung sendiri ketika merenungkan tentang kesetiaan, bahkan kadang harus merasa marah sendiri. Beberapa pekan lalu saya diajak berbicara dengan teman saya, dia mengajak saya untuk mendiskusikan sebuah ruang gerakan baru. Dan dengan analisis keadaan, saya merasa begitu kehilangan banyak hal, sehingga saya merasa jengkel. Namun, saya tidak jengkel dengan teman saya, saya hanya merasa jengkel pada keadaan. Ternyata kemungkinan ekstrim atas masa depan alumni kita adalah suram dan ajakan teman saya itu mengingatkan saya begitu dalam tentang betapa rapuhnya ikatan kita bersama, sehingga kekuatan yang ada entah dari mana kita akan mengikatnya nanti. Dari sini kita tidak akan bisa berkata bangga dengan komposisi yang banyak ini. Kenyataannya kita tidak akan mampu menyatukan mereka dengan alasan yang sama sebagaimana kita berkumpul di tempat kita berpijak sekarang ini.

    Maka dengan penuh berharap, kalian haruslah punya kesadaran untuk mampu merangkai bunga yang indah yang telah kalian tanam hari ini. Bunga yang indah ini harus terus bertahan sendari kita tidak terpecah-pecah berjalan sendiri-sendiri, menjadi suku-suku budak keegoisan pribadi.

    Dan yakinkanlah hati kalian jika belum yakin. Dan bertanyalah pada diri kalian tentang makna keberadaan kalian hingga hari ini. Dan bertanyalah pula tentang apa yang kalian kehendaki dengan ada disini. Sempurnakanlah niat kalian, jika memang niat itu tak akan pernah kalian temukan di tempat ini, dan ada di tempat lain, pada dasarnya yang kalian butuhkan adalah untuk yakin pada pilihan yang terbaik bagi kalian dimanapun juga. Karena letak loyalitas, kesetiaan, penghayataan atas sebuah isi perasaan berada pada simpul hidup yang ini.

    Sebagaimana seorang penulis bernama Maria Shriver yang menuliskan renungannya secara puintis, bolehlah kiranya tulisan ini saya tutup dengan sebuah puisi juga. Puisi ini berjudul….

    “Aku Akan Terus Belajar”

    Selamat kuucapkan entah dengan bahagia atau dengan penyesalan!
    Hari ini mungkin penghujung, dari sisa-sisa amanat yang telah kalian emban.
    Satu tahun hampir usai.
    Dan ternyata setahun itu panjang jika diselami dengan rasa bosan.
    Tapi satu tahun ini juga sangat singkat, jika diresapi atas dasar cinta kasih bernama kesetiaan hati.

    Jangan pernah merasa menyesal, sebab kalian sudah sejauh hari ini.
    Bagaimanapun juga, semua ini harus kalian tatap dengan wajah senyum dan gurat bahagia.
    Hidup ini memang memang tak akan sempurna, perjalanan ini juga ada suka dan dukannya.
    Maka, kesempurnaan itu terletak pada kerelaan di hati kalian masing-masing.

    Dan jikalau aku bertanya tentang esok hari, apakah kalian masih sama dengan hati yang kalian miliki sekarang.
    Esok hari adalah masa yang berbeda, dan apakah kalian akan berubah?
    Dan sekali lagi: Apakah kalian akan berubah?
    Jika ia, apakah hati kalian akan meninggalkan tempat ini.
    Jika tidak, apakah hati kalian masih peduli dengan tempat ini.

    Mungkin saja pertanyaanku itu terlalu aneh.
    Dan kalian tidak paham apa maksudku.
    Antara paham dan tidak, disanalah pilihan kalian kusediaakan untuk belajar dan untuk terus belajar.

    Setelah ini nanti, aku tidak tahu akan kemana kalian.
    Akankah berpihak atau acuh sama sekali dengan tempat ini.
    Aku benar-benar tidak tahu apakah kalian masih peduli untuk saya titipi satu amanat lagi.
    Ah…barangkali kalian sudah bosan, terlalu lelah, dan sudah merasa berat.
    Mungkin kalian ingin menjadi orang bebas, karena bebas memang enak.
    Tapi bebas tanpa tujuan dan cita-cita juga sangat tidak enak.
    Maka pikirkanlah akan kemana kalian setelah ini.
    Renungkanlah apakah hati kalian itu memang sudah bosan atau masih harus terus berjuang di tempat ini.
    Pikirkanlah dengan kebebasan rasa, dan ketulusan pendengaran di jiwamu masing-masing.
    Dan aku yakin apapun pilihan kalian, yang harus keluar adalah pilihan yang terbaik untuk siapapun juga.
    Aku yakin seratus persen atas itu.

    Dan penghujung puisi ini,
    Aku ingin mengajak kalian untuk punya cita-cita,
    Cita-cita yang seperti apa, itu terserah kalian.
    Dan aku juga punya cita-cita.
    Cita-citaku adalah tentang kehendak untuk menjadikan tempat ini menjadi luas untuk kita bersama.
    Cita-citaku itu adalah untuk mewujudkan cita-cita pengabdian atas panggilan kesyukuran kita bersama.
    Dan cita-cita itu harus dimulai dari kemauan untuk terus belajar dengan keras.
    Dengan terus belajar.
    Dengan terus mendengar.
    Dengan terus membaca dan mamahami segalanya.

    Dan muaranya, dengan apapun juga, jika kalian mau belajar, maka kalian akan menemukan cintamu yang paling utama.
    Bahwa dengan cinta itulah Tuhan menyertai hidup kita,
    Tuhan melimpahan nikmat tiada terkira,
    Tuhan adalah cinta tak terpisahkan, dan kita belajar cinta dari Tuhan untuk menabur cinta kepada tempat dimana kita bernaung saat ini.
    Dan terimakasihku untuk ruang waktu ini.

    to bo continued…


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar