• Dua Bersaudara


    Percakapan tetaplah percakapan tanpa merubah apapun dari satu dan lain pihak yang saling berbicara, dan kasih sayang memang sangat penting bagi sebuah hubungan persaudaraan. Usia yang berjarak cukup jauh antara aku dan adikku terkadang menjadi beban posisi bahwa pada satu waktu aku harus menjadi menjadi mentor pengasuh yang mengajar dengan berbagai metode, di lain hal aku harus bisa menjadi musuh terjahat di saat-saat ia tidak bisa dikendalikan, di posisi lain aku juga menjadi seorang murid yang berpatner dengannya seolah-olah seorang sahabat akrab yang saling mempelajari hidup. Dan di mata orang tua, aku dan adikku adalah permata yang harus mampu tampil serasi demi membahagiakan mereka.

    Namun bagaimanapun, Aku dan Adikku adalah dua orang yang berbeda. Aku yang dalam porsi dan proposisinya, dan adikku terkadang sering protes ketika dia gagal mengerti apa yang kuharapkan. Dan pastinya aku senang, sebab dia tak mau menjadi seorang adik yang sendirian tanpa penjelasan. Ia selalu memiliki daya berontak yang terkadang aku sendiri kuwalahan, tapi sekuat tenaga aku berusaha agar dia tidak menghancurkan dirinya sendiri, dan itulah posisi yang sangat sulit bagaimanapun juga.

    Tahun lalu aku mungkin secara perasaan Aku sangat kesal padanya, di saat aku punya kehendak untuknya agar dia mau kupaksa masuk sekolah yang kuinginkan, dengan alasan teman, dengan ketakutan nilai UN-nya jelek dan sebagainya, dia mencoba memberontak untuk ikut mendaftar di SMA yang sama dengan teman-temannya. Ayahku selalu ada di belakang mendukungku, namun aku sendiri sadar tentang banyak kasus yang terjadi akibat ketidak-cermatan orang tua yang justru menghancurkan mood belajar anak, dan aku cukup hati-hati di situ.

    Pernah dia mengena rasaku “Mas, kata Ayah dulu pandai, selalu juara kelas. Aku beda Mas” tuturnya dengan kasar padaku. Cara-caraku untuk memaksanya terkadang sangat kentara dan keras, dan dia tidak terima itu. Lagi katanya “Sudahlah Mas, nggak usah terlalu memikirkanku. Ayah bilang terserah aku.” Dengan kalimat-kalimat semacam itu sebenarnya saya layak meledak padanya. Ada terkadang satu dua hal yang memang sulit terdeskripsi, entah kenapa aku selalu mengikuti intuisi, sebuah feeling, suara perasaan. Dan ketika suara perasaan itu jauh lebih kuat, kemampuan membangun rasionalisasi itu terkadang kurasakan tidak perlu, dan itu yang kemudian dikatakan adikku bahwa alam pikiranku terlalu alot. Dan nyatanya kini dia merasakan sebuah loncatan berbeda setelah menjalani selama tiga bulan sekolah di SMA yang kupaksakan untuk dia masuki.

    Katanya “Ternyata benar kata-kata Mas dulu. Andaikan saya ikut sekolah di SMA biasa mungkin saya tidak akan pernah merasakan tantangan yang Mas dulu alami. Meski nggak pinter-pinter banget, tapi lingkunganku menuntutku pinter, menuntutku maju, mau tak mau jadi ketularan pinter, hanya saja satu hal Mas yang aku tidak suka, aku agak minder karena temanku orang kaya semua.” Kala pujian itu dilontarkan aku malah semakin punya rencana-rencana untuknya, dan terus rencana yang selalu baru itu ditentangnya. Hingga pada suatu masanya aku kemudian menjadi turut berubah sebagaimana dia juga tak akan mau kupaksakan untuk mengikuti perintahku yang A dan yang B lagi.

    Kini adikku selalu mencoba merundingkan idenya jika ada sesuatu hal yang kiranya perlu di bicarakan. Begitupun aku juga mulai mengikuti aturan ritmenya. Ia juga sudah mulai mengalirkan daya imajinasi dan kebebasannya untuk membantah, untuk taat, dan untuk menawar, sehingga di usianya yang menginjak ke 17 ini ia sudah menjadikanku sebagai seorang saudara yang sebenar-benarnya. Artinya dia sudah bisa membawakan diri di depanku, tentang kesopanan, tentang sikapnya dan tutur bicaranya, kapan harus dengan marah, kapan dengan santai dan kapan dengan serius. Aku senang atas hal itu.

    Dan sekelumit pembicaraan kami adalah hal ini, terutama di saat santai di ruang belajar bersama.

    “Orang akan berubah kata Mas, tapi mengapa ada yang bilang kalau Mas tidak cukup berani untuk berubah.”

    “Berubah dalam hal apa? Mas telah banyak berubah. Ada banyak peristiwa yang Mas alami, dan setiap soal dengan perubahan presisinya pasti Mas sikapi dengan jawaban yang selalu berubah dari detik ke detik. Dulu Mas adalah orang yang sinis. Tapi entah mengapa, kata orang bakat sinis itu justru membentuk daya kritis dan daya detail, signifikansi, dan ketelitian bagi Mas saat ini. Jadi berubahnya orang itu sangat pasti.”

    “Iya Mas, namun tetap saja tatapanku masih terasa Mas ini semacam anak muda yang tidak aktual dengan zaman”

    “Banyak anak muda yang sangat aktual dengan zaman, bahkan sampai dipermainkan zaman. Dan yang sedikit adalah yang tidak aktual dengan zaman, mungkin mereka tak berkesempatan untuk aktual, atau main aman seperti Mas ini. Sedangkan yang paling sedikit lagi adalah yang bisa melampai zaman. Dan Mas tidak tahu kamu ada di yang mana?”

    “Menurut Mas, apakah saya bisa jadi orang besar. Maskan selalu menebak-nebak nasib, memprediksi dengan teliti sesuatu hal, menerka-nerka seseorang dari wataknya. Apakah ada keberuntungan bagi saya di masa depan?”

    “Kamu masih kelas 2 SMA. Jalanmu masih panjang, prestasimu sampai hari ini masih nampak bagus, pergaulanmu juga seperlunya. Kamu mungkin saja bisa memperoleh keberuntungan, nyatanya kamu berada di SMA terbaik. Namun kamu juga harus sadar bahwa di esok hari tidak ada yang menjagamu kecuali dirimu sendiri. Temanmu, kebiasaanmu, olah pikirmu dan bagaimana kamu mengasah rasa dan ketaatan pribadimu, segalanya sudah mulai akan diserahkan padamu sendiri. Ayah, Ibu dan Mas mulai menganggapmu sudah dewasa.”

    “Tapi aku masih butuh mereka Mas”

    “Iya, kamu benar. Kamu memang masih butuh mereka.”

    “Iya, Mas”

    “Namun, Ar, bagaimanapun juga orang tua kita terkadang juga sangat gelagapan melawan diri kita, melawan arus zaman, dan keterbatasan meraka bisa juga menjadi peluang bagi keteledoran kita di esok hari.”

    “Tapi Mas kan cerdas. Mas bisa sampai Sarjana, dan sekarang punya pekerjaan mapan. Masih bisa mbantu Aku belajar.”

    Kusela pujiannya “Tetap saja, Mas bukan malaikat di kanan dan di kirimu setiap saat. Dunia ini luas panjang dan sisinya, kamu masih sangat belia. Di luar sana kamu masih akan terus belajar pada ruang-ruang dimana godaan itu begitu deras. Zaman ini sangat begitu menakutkan karena saking cepatnya, dulu Mas juga terkaget dengan keadaan-keadaan yang Mas jumpai. Dan itu sangat menyiksa di awal-awal penyesuaian, dan akhirnya Mas menjadi orang dengan kualitas diri yang tergerus arus seperti sekarang ini. Mas sebenarnya rindu dengan diri Mas yang sewaktu seusiamu di SMA, menjadi anak rajin yang tak punya ambisi apa-apa. Dunia kampus kontras dan disanalah banyak yang berubah dari pikiran, kebiasaan dan jati diri Mas sendiri. Namun Mas juga merasa senang menjadi diri yang sekarang ini”

    “Tentang tujuan Mas”

    “Kamu boleh punya ancang-ancang cita-cita, tapi bukan berarti cita-cita itu menjadi sesuatu yang pasti. Percayalah saja pada proses.”

    Malam kian suntuk.

    “Jangan lupa. Apapun juga yang kamu terima, jangan kerjakan dengan perasaan kecewa atau senang, tapi kerjakanlah dengan keyakinan bahwa disanalah cintamu ditakdirkan, sehingga apapun yang kamu lakukan pasti akan nikmat.”

    Adikkupun beranjak, matanya sudah mulai memerah tanda kantuknya tak bisa ditahan.  Ceramah malampun bersambung.

    Bersambung >> Eps.4



  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar