• Dinikmati Karena Tanpa Saling Paham



    Terpotong-potong semakin jauh pembicaraan kami bertiga, dan entah waktu yang menelan obrolan ini, ataukan rasa senang yang meniadakan gerak lambat bagi jarum jam yang bergerak.

    Disini temanku Bas, dan kenalan baruku yang dikenalkan Bas, Han. Ia asyik juga, agak nyentrik cara elaborasinya, dan loncatan-loncatan ide freshnya selalu menggelitik meski aku tahu dia jauh dari otaknya. Otaknya menjulang tinggi, sementara daya jangkaunya ringkih sedemikian lengkap. Jelas pertemuannya dengan kami adalah untuk menegakkan syarafnya yang kurang asupan kepercayaan untuk berdiri setinggi daya imajinasinya.

    Dan di klik dari segmen ini, ia mendominasi hingga bicara segala yang sepertinya tidak remeh namun tidak juga mudah diterima. Jangan salah argumen-argumennya bisa dibilang doktrinis berbaur penuh skeptis, namun aku merasa dia punya akar yang menjulang kuat, hanya saja sulit bagi orang lain mengatakan bahwa ungkapannya berdasar. Pengelabuhan ide yang sangat sempurna guna menutupi orisinalitas kemampuannya yang tidak terpetak dalam suara kendang di kandang ilmu.

    “Panjang lebar sekali ini” ujar Bas sambil melihat jam tangannya.

    “Jam bodho ya sekarang”

    "Satu lagi” kata Han “Iya, soal Panembahan Senopati". Aku menyela dalam hati "Apa hubungannya dengan Panembahan Senopati, ngelantur sekali anak ini?".

    Ia terus menata lanjutnya "Raja itu punya perjanjian dengan tokoh mistik bernama Ratu Kidul". 

    "Oh...My God" rintih keras di hatiku. Hela nafsku kuhirupkan panjang untuk mengkodenya. 

    Dengan penekanan tanpa ragu ia justru membuat penegasan "Ratu Kidul lho ya, bukan Nyi Roro Kidul, ini dua orang yang berbeda.” Hatiku makin menyala “Oh…iya to?”

    “Perjanjiannya itu menyangkut kelestarian Mataram, meski toh Mataram sekarang berkeping-keping jadi empat, dan tinggal satu yang berkuasa, tapi kita harus berpijak dari sana.”

    Aku ikut menambahi dengan bumbu acuh berbau penasaran “Lantas, Ratu Kidul sekarang berpihak pada Keraton Mataram yang mana ya? Yang Jogja apa yang Solo?."

    “Ini tidak melebarkan” putus Bas.

    “Oh..tidak. Iyakan Mas” tanyanya menatapku seolah aku sefrekuensi. Dan kali ini terasa kalimat-kalimat yang hadir dari mulutnya bagaikan mantra yang tanpa perlu dicela kualitas narasinya, sebab penuh daya penghayatan di segala gerak mimik yang menyertai, "Inikah yang namanya jiwa bertutur kata?" tanyaku di lubuk hati lagi.

    Akupun berpikir sejenak. Ia masih menunggu jawabanku ternyata. “Emm… sebentar.” Kalimat yang akan keluar dari mulutku di detik ini mungkin penting baginya. “Kenapa malah hening ya” Aku terus mengkait-kaitkan, mencoba merangkai kehendaknya, memejamkan sejenak tali-tali ucapannya. Aku seperti pula ngelantur dalam ekspresi berlebihan dengan turut pula memejamkan mata ini. Tapi adakah suatu ketersambungan yang dia sembunyikan, hatiku terus meraba. Apakah ada konstalasi yang dia tarik dari kisah itu.

    Haduh kenapa mereka malah menunggu. Jadi beban rasanya. Dan mataku kubuka pelan-pelan seolah sudah yakin dapat wangsit. Tapi aku merasa kecewa jadinya setelah membuka mata. Han kulihat malah berulah dengan mengambil tahu goreng yang masih tersisa. Aku jadi tampak bodoh. Bas, malah mengamini suasana yang harusnya senyap ini menjadi tak bernas, ia malah menyeruput kopinya yang sudah tinggal ampas. 

    “Baiklah” kataku, “Aku setuju”

    “Setuju apa Mas” tanya Bas refleks dengan segera meletakkan cangkir kopi ketempatnya.

    Aku justru menjadi berbalik bingung ingin mengungkapkan dari mana. “Berpikirlah” hatiku mengkode keras otakku agar mau bangun di saat sisa-sisa oksigen pembakar inspirasi itu kian menipis untuk memompa cahaya mataku.

    “Kita kehilangan satu hal jika tidak perfect menyiapkan ini dengan baik” ucap Han mendahului.

    “Iya, itu yang kumaksud” sontak reganglah sudah otakku.

    “Jadi…?” Bas dengan wajah bodoh nampak belum paham juga.

    “Ciptakan tiga langkah akar. Akar pertama adalah legitimasi bernama trah Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Akar kedua adalah tiang panjang bernama penyatuan visi dari yang sederhana berwujud menjadi immaterial, gagasan, ide, pembelajaran, ilmu, dan pengetahuan yang transfernya tak boleh diputuskan hingga akhir waktu. Akar yang ketiga adalah Mataram, Panembahan Senopati itu sendiri, seorang pemberontak, pembunuh Arya Penangsang, otak yang licik dalam mengumpan Mangir Wanabaya, seorang padatan yang keras dalam melawan saudara sendiri Adipati Pragola. Begitulah langkah ini…”

    “Maksutnya...gimana sih Han” Bas sembari mengungkapkan kejujurannya, ia justru malah berbalik makin penasaran.

    Akupun menjadi pemutus acara. “Ini sudah jam terlalu larut, kita akhiri saja. Point-point kita sudah cukup, lain kali kita renungkan lagi. Kita jalankan apa yang segera bisa digarap”

    “Aku setuju” ujar Han.

    “Jadi...." sepertinya Bas belum puas. Aku menunggu, Han pun menunggu kalimat persetujuan Bas. "Iya deh” sambut Bas penanda percakapan ini harus dipungkasi.

    Akhirnya, kamipun beranjak, kepala yang over kapasitas ini membutuhkan sentuhan cas yang akan lebih panjang dan nikmat.

    Hingga sajak inilah yang kemudian menutup malam ini.

    "Selamat Malam"---"Malam"
    "Hati-hati dijalan"---"Iya Brow"
     "Sukses pokoknya"---"Sip deh"

    Dalam persahabatan indah tak indah, paham tak paham, suka tak suka, yang penting hepi. Maka seri tulisan ini tak perlu membutuhkan keindahan demi masih bersambung....

    Bersambung >> Eps.3

    ***


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar