• Kau Baca Diriku



    Lenyaplah aku dalam ketidakseimbangan pembicaraan ini.

    "Aku tak bisa menjelaskannya padamu” ujarku. 

    “Mengapa?” 

    Jelas terlalu berkelit, jika aku terus berkata tidak, menghindar dari kejar pertanyaannya, tapi sangat sulit bagiku lebih-lebih untuk berbicara dahulu dengan orang baru. 

    “Aku tidak hendak membuatmu penasaran, namun jika aku memilih diam, itu artinya aku sedang menggenggam prinsipku.Dan garis itu begitu tegas, sehingga jangan anggap bahwa aku punya permasalahan dalam melakukan komunikasi sosial” tegasku.

    Ia merasa seperti sedang bicara dengan kawannya sendiri. “Aku banyak bertemu dengan orang sepertimu", ia menahan omongan dengan menyalakan rokoknya dan melanjutkan lagi, "Mereka dan kamu sepertinya sama. Orang yang sangat ambisius” tukasnya begitu lepas.

    Dia mulai memancing, dan aku mungkin api yang hendak disulutnya, tapi bagi orang baru seperti dia, aku tak mungkin membuka kartu, meskipun analisa itu sebenarnya sudah cukup menandakan bahwa ia tak perlu bertanyapun sudah tahu, tipe apa orang sepertiku.

    “Kenapa kau enggan menjelaskannya” di ulang pertanyaan itu lagi padaku.

    “Ini, soal waktu. Percayalah.” Kutatap dia, ekspresiku masih belum biasa. "Ia bukan orang yang ku kenal" ulangku dalam hati. Dari tatapan itu kuharapkan dia sadar bahwa aku punya tugas dan amanat kepercayaan yang harus kupegang. Aku tak bisa percaya pada orang lain begitu saja.

    Sendari menunggu dan mengejarku dengan rasa penasarannya, ia tuangkan kopinya ke dalam lepek, dan di oles-oleskan hitam kopi itu pada rokok yang pada akhirnya mengepulkan gumpalan-gumpalan ekspresi dari pemiliknya. Mungkin saja ia hendak berkata "Wahai asap-asap ejeklah orang di depanku itu". Benar, itulah sangkaku yang imajinatif cemburu.

    “Aku heran padamu”, ia memulai lagi.

    Rasa tidak puasnya terus menghardikku pelan-pelan, akupun membalas dengan tanya. 

    “Tidak puas kenapa?”

    “Ada dua mata pisau yang tajam di dalam tubuhmu."

    "Pisau" tanjihku dengan nada kaget yang dibuat-buat.

    "Aliran darahmu adalah trah ksatria yang siap perang mati-matian jika orang yang paling kau percaya disakiti. Sementara pisau yang lain pada dirimu ialah kau mengambil jarak terlalu jauh, sehingga dirimu sendiri terasing pada kesepian”

    Aku tersenyum padanya. “Kesepian itulah temanku”

    “Hehe…itu jawaban pintasmu.” Ia tertawa kecil-kecil dengan patahan-patahan yang sinis.

    Dia memang penuh kelakar, sarkasme, sinisme, dan segala balutan retorika yang sangat lepas, jauh bisa berekspresi menukik dengan santai, bahkan akupun dikuliti sefulgar itu. Aku merasa tidak tenang, rekanku ini kenapa tidak segera datang. 

    Jauh di lubuk batinku, ada kerinduan sebenarnya, dan harusnya aku senang bertemu dengan orang gaya-gaya orisinil semacam ini, selama ini justru aku tidak terhibur gara-gara orang banyak bermuka koran, sangat formal kamus banget dengan rutinitas saklek, gaya bicara perintah, dan sejubel instruksi hubungan baju-baju tanpa mengedepankan wajah diriku yang sebenarnya sebagai manusia.

    Aku menduga dia adalah orang yang sangat kuat dengan energi yang terpancar begitu moncer, getar suara dan tampilan cahaya hidupnya menandakan dia pemikir keras. 

    “Tak usah tegang, minum dulu itu. Dan tak usah pikirkan---aku itu orang macam apa, karena dugaan-dugaan orang sepertimu terkadang juga ada melesetnya, jangan mudah tertipu, banyak cara bagiku untuk membuatmu salah perkiraan.” ujarnya.

    Persetan, aku senyum-senyum saja melihat dia yang terus membaca pikiranku, gelagat otakku jadi ikut-ikutan terus mengalir, mencengkeram informasi tentang dia, si orang baru ini. 

    Di balik gaya yang membangun benteng setinggi ini, aku juga merasa jenuh meladeni tingkah satu orang ini. Kesan basa-basiku, kesan formalku, dan semua kepalsuan ekspresi terlalu berlebihan hanya sekedar untuk menghormati lawan bicara yang dari segala ungkapannya terlalu renyah jika diajak hormat menghormati.

    Berselang beberapa menit, rekan seprofesiku datang. Ia langsung menyalami kami, dan segera duduk di bangku sebelahku. Akupun segera memesankan minuman untuknya sambil membawa beberapa makanan ringan untuk menambah isi obrolan sore ini.

    Dari sinilah kami berkenalan dengan serius.

    ***



  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar