Hari
itu Aku terpaksa bangun pagi lagi demi menatap mentari di ujung timur. Sudah
sekian lama aku menjadi bagian dari peneguk keteduhan malam yang tenang hingga
terlarut di pagi hari. Jangan heran jika aku abai dengan cakwala timur itu, toh
dari timur maupun dari barat, dari mentari fajar maupun hingga sorot di
penghujung senja, keduanya tetap akan lapuk oleh suasana diriku sendiri.
Sendari
mempersiapkan diri, ada segenggam pesan dari perjalanan ini nantinya, karena
Aku adalah simbol itu, sebuah gerakan hidup yang orang barangkali mulai lupa
tentangnya, tentang apa di balik segala usaha yang ada. Seuasai segalanya telah
siap, perjalananpun dimulai, pendulum jam kira-kira menunjuk angka pukul
enam pagi. Dan kemudian sepeda ajaib itu memperjalankan kita menuju ke pos
pertama, di Masjid Al-Akbar Surabaya. Masjid itu sungguh baru bagiku, meski aku
banyak mendengar nama besarnya dari banyak orang. Aku sungguh terkesan dengan
pagi itu, ketika kerumunan manusia dengan segala profesinya berkumpul padat di
gelaran rutinan car free day, dan beban kehidupan itu memang harus
disimpan di acara mingguan itu, semua raut wajah nampak riang dari yang tua,
anak-anak, hingga sepasang muda-mudi yang sedang merajut hati. Dan biarlah
urusan dapur di pikirkan nanti setelahnya.
Di
pos ini, aku bertemu dengan dua orang laki-laki, dia masih di bawah usiaku,
logatnya Madura sentris, Inggris Timur ujarnya, namanya aku juga lupa, tapi
pancaran cahaya tulusnya, ketakdzimannya kepada temanku yang lebih senior itu
membuatku sedikit tersenyum, lebih-lebih konstalasi yang ada di sekelilingku
begitu merumuskan tata hubungan itu sebagai sesuatu yang sangat rumit. Aku juga
tahu, di saat segala serba kurang, kedua anak itu yang kemudian diperkenalkan
padaku sebagai punggawa FKMB Suramadu, sepertinya sedang membutuhkan uluran
bimbingan, sebuah posisi kealpaan yang mahal untuk digantikan dengan apapun
juga.
Singkat
cerita, prosesi tunggu menunggu akhirnya usai, kami berdelapan sudah lengkap,
dua diantara kami adalah perempuan. Kami tidak berangkat semua, dua anak yang
kusebut di atas tidak bisa berangkat sebab punya tanggungan di FKMB Suramadu.
Kira-kira sekitar pukul 07.30, kami berangkat menuju Malang. Boleh di bilang
formasi yang berangkat ini tidak mewakili secara legal masing-masing organisasi
Bidikmisinya, tapi panggilan hati telah menerobos batas formal. Aku tak dapat
berkata banyak untuk menolak apa, dan memuji apa, tetapi yang aku yakini
keistiqomahan kecil itu membutuhkan nafas pengawalan yang panjang, dan entah
itu akan berlanjut apa tidak.
***
Kelok
liku dari Surabaya ke Sidoarjo dan entah kemana lagi, akhirnya sampai juga kami
di kampus UM, setelah sebelumnya berputar-putar mengagumi kebesaran fisik dari
kampus UB, dan mengagumi eksotisme hijau daun dari kampus UIN Maliki.
Di
iringi suasana yang agak mendung, kamipun di papas oleh dua gandek
sakembaran. Yang perempuan adalah Mavalda, dan yang satu lagi adalah Anam,
kedua nama ini bukan tokoh fiksi yang kuciptakan. Pendek kata, kamipun
beristirahat di Camp FORMADIKSI UM, dan bercuap-cuap manja, seperti pertemuan
dari dua saudara jauh yang lama tidak bertemu. Meski di kata kami adalah
orang-orang tua, tapi kami tak segan untuk memajang wajah yang paling kocak,
dan itu menjadikan obrolan-obrolan kami menjadi santai tanpa ketegangan, namun
mereka juga tidak kalah santun, hawa dingin mungkin yang mempengaruhi watak
mereka yang tenang dan intensif mendengarkan dari patah-patah kata penuh tawa
yang menyelingi setiap lima menit percakapan. Di depan para tamu-tamunya, satu
persatu punggawa FKMB Malang berdatangan entah dengan satu hati atau masih
berkotak-kotak. Dan meski agak dengan nyeletuk, salah satu diantara mereka berkata
seperti berujar satir “Surabaya selalu kompak ya”. Di hadapan mereka pagi itu
rombongan tua Unesa, Uinsa dan Unair adalah rombongan kolaboratif yang
sempurna, patut dipuji karena seolah menggambarkan alur bersambung yang terus
terjalin dari setiap generasi pengawal FKMB hingga hari ini. Itulah yang
kusebut sebagai simbol di awal.
***
Terlalu
panjang juga, jika aku terus mencoba mendentingkan setiap gelombang suara dari
perbincangan kami, tapi beberapa isu besar itu sebenarnya adalah terkait dengan
pesan yang kami bawa. Kedatangan kami ialah untuk mendorong kesuksesan Muswil
FKMB Jatim, dan tepatnya untuk menata kembali dengan realistis bentuk dan
gagasan kedepan dari FKMB Jatim sendiri.
Kalau
ditinjau dari segi waktu, Muswil tahun ini terbilang mundur dari jadwal, tak
apa sebenarnya karena ada kenyataan yang berkata lain. UTM yang sediannya
menjadi tuan rumah kemudian harus gagal menyelenggarakan mandat, dan menjelang
Rakernas Bidikmisi di Riau, akhirnya disepakatilah pelimpahan penyelenggaraan
ke FKMB Malang Raya. Dan pelimpahan ini juga ditinjau dari berbagai aspek
cukuplah memadai dalam segi mempersatukan pecahan-pecahan dari ketertutupan
Malang Raya.
Di
pertemuan ini, sedikit banyak panitia Muswil curhat dengan segala
keterbatasannya. Waktu yang sudah mendesak, beberapa masalah finansial, dan
kemudian arah perbincangan menjadi mencoba cukup realistis, mengeja kenangan
sejarah dari FKMB Jatim yang diperjuangkan pendiriannya bukan dengan korban
darah tapi dengan pengorbanan pengabdian dan cinta. Mas Arif (Unnesa 10) dan
Mas Fathur (Uinsa 10) bercerita tentang proses berlangsungnya Pra-Muswil di
Unnesa dimana suka duka dalam keterbatasan penyelenggaran Pra-Muswil itu juga
sama terjadi bahkan cukup dramatis, hingga konon anak STAIN Tulungagung rela
jalan kaki dari Wonokromo ke kampus Unnesa gara-gara tidak ada yang njemput.
Dengan segala penghargaan saya turut sadar bahwa gelaran Muswil harus
direfleksikan ke dalam dalam tujuan substansial. Selama ini adegan-adegan
dengan panggung yang besar di tampilkan tapi kosong arti.
Sepanjang
perbincangan, mereka cukup antusias, sejarah di paparkan oleh tiga orang, dan
saya menjadi aktor yang sok alim di situ, selain sebenarnya mencari wangsit
untuk berbicara panjang setelahnya.
Pertanyaan
yang paling mengena kemudian hadir, di lingkaran panitia sendiri, banyak yang
tidak tahu apa sebenarnya jati diri dari FKMB Jatim itu, apa semangat yang
mengilhaminya, lantas kenapa FKMB Jatim harus ada. Mas Kuta menjawabnya dengan
cukup menyinggung saya dalam tanda jauh. Tuturnya, setiap organisasi jangan
sampai kepaten obor, kehilangan jati dirinya. Perkembangan kreasi adalah
jalan niscaya, kemewahan penyelenggaran acara adalah kebanggaan, namun memegang
nas adalah harga mahal yang jika diabaikan sedikit akan menghilangkan makna
dari keseluruhan inti berorganisasi. FKMB Jatim ada adalah sebagai jalinanan
persaudaraan, paseduluran, meraketkan ikatan, dan keberadaan kita ialah
untuk menjawab berbagai soal dimana wadah ini adalah wadah bertukar ide dan
gagasan program antar organisasi perguruan tinggi, selain itu juga dalam rangka
turut mengabdi kepada masyarakat, dan yang selama ini tidak disentuh adalah
kenyataan bahwa sistem Bidikmisi yang ideal mestilah dirumuskan dan rumusannya
harus bisa menjadi koreksi penyelenggaraan Bidikmisi oleh Dikti. Selama ini,
Dikti tidak pernah benar-benar tahu kenyataan di arus bawah, hingga sistem
Bidikmisi bolak-balik ganti dari rekrutmen tanpa kuota menjadi dengan kuota,
padahal banyak catatan tidak tepat sasaran terjadi akibat sistem kuota.
Setelah
menyinggung nas, kini kemudian perbincangan bergeser tentang isi dari
penyelenggaraan Muswil dan bentuknya. Kejadian tahun kemarin dengan tidak
jelasnya fungsi Korwil dan hilangnya Korwil menjadi pertanyaan yang cukup
menarik. Apa yang kemudian harus dipikirkan di Muswil ini ialah pembentukan
struktur kelembagaan yang berfungsi. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian
pemilihan Korwil dan perangkatnya diwacanakan secara ideal dari figure-figur
terbaik, melalui alur seleksi. Dari angkatan berapa ? Jawabannya barangkali
adalah dari angkatan 2014/2013 yang lebih expert sebab Jatim cukup luas, dan
pertemuan setahun sekali di Muswil sangat kurang. Artinya pekerjaan rumah untuk
menghidupkan Jatim harus dimulai dari kerja rutinitas yang disepakati bersama
yakni kumpul bareng dalam intensitas yang jelas di setiap tahunnya. Kemudian
juga, Jatim mestilah punya program yang bersama-sama dilakukan bersama di bawah
kontrol Korwil tersebut. Pada posisi ini komitmen yang kuat harus di bina
karena jika pada Muswil ini segalanya hanya dipandang sebagai agenda rutin
belaka tanpa di isi dengan sudut pandang urgensial, maka FKMB Jatim tidak pelak
akan mati suri karena kehilangan patron senior yang mau peduli sampai hari ini
seperti tiga serangkai Unair, Unnesa, dan Uinsa tadi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar