Lihatlah lagi ke atas, rintik-rintik sore ini telah menuaikan harapan baru. Saput gelap mendung yang menderukan petir menggelegar, sekejap saja usai. Kini air-air mengalir laju menggenangi lahan-lahan sawah yang telah lama kering menunggu datangnya curahan berkah melalui deras hujan yang mengguyur hari tadi.
Tanpa bosan Pak Tani bergegas bangkit setelah berbulan-bulan menguliti kemarau dengan kesibukan sambilannya demi menyambung hidup yang kian melesat penuh tuntutan. Dan hari pagi akan bergeliat kembali. Ramai dan sepinya akan kita saksikan dari senyum-senyum mereka, tawa-tawa mereka, atau dari kesal di hati-hati lugu yang banyak terabaikan.
Traktor-traktor telah berbunyi, pergerakannya yang ritmis di dalam membajak lahan-lahan secara tanpa sengaja telah berpadu membangun melodi dalam sebuah harmoni gerak suara alam yang penuh estetik ini. Kodok-kodok yang tak luput diam itupun membawa pesan murni, bahwa ia hanya bisa bersatu padu dalam jiwa dan telinga kita di kala suka ria petani-petani di sawah telah di amini oleh segala pemangku kelanggengan alam raya yang tiada kenal lelah ini.
Namun, yang paling harus diperhatikan dari musim ini adalah kemelesatan dari pada orang-orang yang suka bermain-main di balik keluguan. Alangkah sesalnya jika padu suka ria musim tanam terus diliputi oleh derap kecemasan yang itu padanya, berasal dari bumbu bernama ketidakberpihakan.
Begitu cerobohnya kemudian, dengan tidak syak lagi, Pak Tani di bebani soal dalam kelapangan jiwa dan raganya. Pupuk kimia itu entah dimana empunya soal, di satu hal ini pemberi soal itu sendiri terus mementalkan hatinya, membiarkan sebagai keabaian dan bertutup telinga di saat kecut perih permainan oleh badut pemerkosa terjajar di hadapan muka.
Fenomena kelangkaan pupuk, pupuk dibatasi, atau sederet aturan pembelian pupuk, sepertinya saja tak ada niat untuk memberikan uluran tangan kepada satu soal ini. Dan petani "telah terlalu lama sendiri". [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar