• Yudhistira



    Benar adanya bahwa kita telah memasuki alam egoisentrisme pribadi yang bercampur pada rasa kebanggan kolektif yang sempit. Panggung hidup ini semacam kue yang masing-masing di antara kita, satu dan lainnya berebut untuk menguasai lingkaran kue-kue itu, atau minimal memperoleh bagian dari kue yang ada. Jika kemudian merasa kecewa dan tidak mendapatkan bagian dari kue tersebut, kita lari dan merasa didzolimi. Dasar alam saraf manusia !

    Dalam pinta alam kegelisahan itu, saya justru teringat dengan pementasan lakon wayang yang dibawakan oleh Ki Manteb Sudarsono, Babat Wanamarta. Di penghujung narasi dalang kita ini memberikan sebuah penggambaran kronologis atas naiknya seorang Puntadewa ke puncak tahta negeri bernama Indraprasta. Puntadewa agaknya enggan naik ke kursi tahta negeri itu dengan melemparkan jawab kepada adiknya Bratasena. 

    "Yang paling layak menjadi Raja adalah adikku Bratasena, Eyang. Dia yang paling berjasa membuka hutan ini, dan dia yang paling kuat diantara kami" begitu jawab Puntadewa.

    Nada dan suara Puntadewa masih mengandung makna idealisme dan kemurnian tutur kata. Namun kebajikan seorang Puntadewa yang meletakkan jasa dan pengorbanan sebagai kebanggaan yang harusnya mengantarkan Bratasena ke puncak tahta disangkal sendiri oleh si empunya gelar.

    Tegas tanpa beretorika Bratasena menolak pujian saudaranya itu, "Aku tidak bisa menjadi Raja. Diriku tidak bisa berdiplomasi, tak punya tata krama berbahasa. Aku tidak layak jadi Raja. Lagi pula bagiku, siapa yang kuanggap salah akan kuhukum mati dan yang berbuat benar akan kuganjar. Tapi watakku itu tidak layak untuk memimpin, jika seluruh rakyatku bersalah semua maka apa jadinya nanti. Biarlah Puntadewa saja yang jadi Raja."

    Sebenarnya tak ada tarik ulur berarti dalam percakapan itu. Di hadapan Resi Bisma dan eyangnya Abiyasa, hampir semua mata mengukuhkan bahwa tiada lain kecuali kebeningan tindak tanduk dan ketenangan diri seorang Puntadewalah yang bisa meneduhkan kobaran api, atau mengalirkan amukan tsunami yang sewaktu-waktu menjadi kobar sejarah bagi perjalanan sebuah bangsa.

     Meski fitroh dari seroang Puntadewa bukanlah untuk menjadi seorang politisi, namun para sesepuh negeri telah bulat menunjuknyauntuk mengemban tugas negara itu. Karena kebulatan itu pulalah, Puntadewa harus dengan kedua tangannya menyiapkan segala kemungkinan bagi dirinya untuk tidak menolak amanat "tahta" yang sebenarnya menjadi arti tersendiri di kemudian hari ketika "tahta itu didirikan untuk keadilan sosial".

    Puntadewa akhirnya bersedia, hanya saja ketika ditawari untuk memakai pakaian kebesaran Raja, ia menjawab Raja yang bertahta ini adalah Puntadewa, dan inilah Puntadewa, dan tidak perlu berhiaskan apa-apa, tak perlu pakaian kebesaran. Jika Puntadewa memang layak menjadi Raja, maka tanpa apapun juga dia akan nampak berwibawa di mata rakyat dan bangsanya.

    Watak dan sikap yang diambil Puntadewa untuk tidak memakai mahkota dan pernak-perniknya juga sebab satu hal lagi. Ia ingin menghargai ikat kepala satu-satunya yang diberikan oleh Ibunya. Baginya, seorang ksatria itu tidak soal membangun simbol-simbol atas kedudukannya, melainkan bagaimana dia tetap tidak lepas dari bagian-bagian yang menghidupinya, baik dalam konteks ini ialah rasa terimakasihnya yang tiada terkira kepada orang tuanya yakni Ibu Kunti, seorang Ibu yang mendidiknya seorang diri.  Maupun bagian lain yang tak terlepas dari hidupnya yang lain yakni Puntadewa yang sama di mata para guru-gurunya, para kawan-kawannya, para saudaranya, tak luput juga, keluguan yang hendak ditujukan Puntadewa bahwa alam yang membentuk dirinya dan Tuhan yang memayunginya tak boleh merasa turut tersinggung oleh uforia berlebih-lebihan atas wisuda tahta yang disandangkan pada dirinya. Dan begitulah figure Puntadewa yang memang sejak lahir tidak dilengkapi kemungkinan untuk menjadi seorang yang ambisius, ia lebih dingin dalam mengendalikan kehendaknya sendiri, sehingga ambisi bagi dirinya tidak cukup untuk diundang dengan berbagai jenis godaan kenikmatan. Itu semua tidak lepas dari ciri khas Puntadewa, seorang religius berdarah putih yang punya seribu cara untuk mengendalikan emosi dan ambisi dirinya.

    Pada rentetan-rentetan penggalan kisah wayang ini, saya sekali lagi merasa bingung dengan keterbalikan masa, dengan ketidakadaan sebuah metodelogi bagi kita bersama untuk merajut model persinggungan atau pergandengan tangan yang melingkupi berbagai kompleks variabel dengan timbangan komposisi yang harmonik kedepan dan kebelakang. Dan pusaran arus entah meletakkan diri kita akan di sebelah mana ? [*]


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar