• Sapi Kerbau Hingga Semar dan Pandawa



    Secara kebetulan di suatu sore, saya sempat merumuskan simbol pembeda antara dua hewan yakni sapi dan kerbau. Karena bersifat kehendak, maka tidak ada hubungan antara kebenaran yang tepat untuk menempatkan sapi dimana dan kerbau dimana. Begitu relatif, keduanya menjadi simbol dialektis kesejarahan bangsa Nusantara.

    Sapi dan Kerbau

    Narasi mula-mula berawal tentang pandangan skeptik saya melihat praktik penyimpangan dari ritual Kirab 1 Suro yang meletakkan kerbau sebagai simbol sakral yang dimulyakan. Subjektifnya saya menolak itu.

    Pandangan tentang kerbau dalam perumpamaan Jawa lebih sering merujukkan pada sikap malas dan bodoh, lambat dan tidak tahan panas. Tanda zaman terbalikpun disimbolkan dengan sebuah pameo "kebo nusu gudel", atau lainya juga ada sindiran "Ojo bodho ela-elo kaya kebo". Dalam konteks konotasi itu saya menguatkan bahwa kerbau tidak tepat ditempatkan di depan.

    Ketika Kyai Kasan Besari memberikan hadiah kerbau bule penjaga pusaka Kyai Slamet kepada Sunan Pakubuwana II, saya sendiri agak curiga bahwa kerbau yang kemudian menjadi penunjuk arah sekembalinya Sunan, sebenarnya hanya sebuah simbolisme.

    Tidak berlebihan mungkin, kalau Kyai Kasan Besari sejatinya sedang membaca masa depan bahwa pemerintahan Jawa selanjutnya akan berjalan di belakang kerbau berkulit putih itu alias kompeni Belanda. Tak terelakkan pula bahwa kebodohan akan merajalela, sebab klangenan Sunan pada periode selanjutnya tertuju pada kerbau itu.

    Menarik ke belakang pada era Hindu, berbeda sekali dengan era Pakubuwana II. Kerbau tidak menonjol, melainkan sapilah yang menempati tempat khusus sebagai hewan suci. Di Kudus misalnya, karena saking kuatnya pengaruh Hindu, Sunan Kudus dengan bijaksana melarang para santrinya untuk menyembelih sapi sebagai hidangan masakan, dan sebagai gantinya digunakanlah daging kerbau.

    Corak pengkultusan sapi di era Hindu berkait erat hubungannya dengan mitologi dewa-dewa. Bathara Guru sebagai simbol dewa paling mulia menjadikan sapi sebagai kendaraannya. Meski kemudian, tradisi Islam mengkoreksinya dengan menghadirkan Semar sebagai pranata baru dalam memandang tatanan kosmologi mutakhir.

    Sunan Kalijaga seorang arsitek wayang membidani banyak pembaharuan mitologi para dewa. Pada mulanya Semar dan anak-anaknya yang disebut Punakawan tidak pernah ada. Kehadirannya jelas sebagai warna Islamisasi mitologi, disamping itu juga berkaitan erat dengan kondisi tata pemerintahan Kesultanan Demak kala itu.

    Banyak tafsir tentang Semar, namun radikalisme yang melatari lahirnya Semar agaknya penting sebab kehadiran Semar telah mengobrak abrik tatanan sistem kadewatan yang meletakkan Khayangan adalah pusat dari segala pusat kekuatan kekuasaan.

    Sunan Kalijaga sepemahaman saya ingin membongkar lapisan-lapisan dunia ini. Lapisan lama di masyarakat menempatkan penguasa sebagai kasta tertinggi meski secara teori diletakkan sebagai kelas dua di bawah kasta brahmana. Peletakan penguasa (raja) sebagai kasta tertinggi itu disimbolkan dalam pengabadian raja-raja Jawa melalui patung-patung Siwa dan Wisnu. Dalam ungkapan populer, raja juga dianggap sebagai satria pinandhita (seorang ksatria yang paripurna sehingga layak disebut brahmana).

    Absolutisme penguasa itu mencoba disindir oleh Sunan Kali dengan menurunkan satu tingkat pangkat Bathara Guru dibawah Semar. Alam kadewatan sebagai simbol bagi aristrokat penguasa diturunkan sejajar pangkatnya kini dengan kelas para bramhana (agamawan) dan ksatria di bumi (para cendikiawan). Pada era sebelumnya, brahmana dan ksatria di bumi diposisikan sebagai simbol cendikiawan yang mutlak harus taat kepada penguasa.

    Agak rumit lagi, dalam pewayangan Semar dan anak-anaknya merupakan pengejawantahan dari kenyataan bahwa kehidupan rakyat jelata itu real adanya. Pada cerita-cerita lama, kehadiran rakyat jelata selalu tidak pernah ada. Semua plot berkisah tentang istana, para bangsawan dan seluk beluk perubutan tahta, wanita dan harta. Sementara kenyataan bahwa eksistensi para ksatria sesungguhnya bertumpu pada rakyat jelata terabaikan begitu saja.


    Kepemimpinan Wahyu : Semar dan Pandawa 

    Pembongkaran kasta dan menghadirkan wakil rakyat jelata sebagai pendamping para ksatria baik maupun ksatria jahat agaknya diambil dari kehadiran dua malaikat pencatat amal baik dan buruk. Diceritakan bahwa penasihat para ksatria baik adalah Semar, dan para ksatria jahat memiliki penasihat bernama Togog. Memang kemujuran ada pada Semar, sebab Togog lebih banyak sedihnya. Sulit menjadi penasihat mereka yang memang terlahir dalam watak angkara, nasihat menjadi kosong tiada arti.

    Menelisik lebih rinci tentang kehadiran Semar dalam dunia pewayangan, agaknya menarik jika dikait-kaitkan dengan konsep kepemimpinan Jawa yang berlapis-lapis. Reposisi dari Bathara Guru ke Semar bisa saja diartikan sebagai protes Sunan Kalijaga tentang konsep turun-temurunnya kepemimpinan feodal Jawa. Konsep kepemimpinan wahyu yang dikenal sebagai konsep suksesi Jawa terabaikan gara-gara suksesi dipandang hanya sebatas proses transfer kekuasaan dari Bapak ke Anak tanpa berfikir tentang kompetensi dan kemaslahatan.

    Semar dalam hal gagasan memang mencoba ditampilkan dalam rangkuman lengkap tentang bagaimana semestinya seorang bangsawan mampu memanfaatkan posisinya untuk pantas di mulyakan sebagai aristokrat utama.

    Dalam garis kebangsawanan, Semar tak henti berjalan menyusuri makna dari tugas yang diembankan kepadanya, menjaga ksatria-ksatria utama. Di sinilah pakaian bangsawan itu diletakkannya di tempat yang tinggi sebagai pusaka sakral, dan dalam keseharian ia tervisualkan dalam pakaian rakyat jelata. Inilah sebagaimana yang dikehendaki tentang manunggaling kawula dan Gusti. Sebuah konsep yang menuntut hubungan timbal balik seimbang, keterlibatan yang saling mengisi antara pranata wadah dan isi yakni negara dan rakyatnya.

    Merujuk pada konteks kepemimpinan wahyu, Semar merupakan antitesa dari kelengkapan Bathara Guru dengan empat tangan sebagai penjuru pembisiknya, sekaligus ketidakberdayaan Lembu Andini sebagai kendaraannya. Wahyu ternyata mencari tuan yang lebih lengkap dari berbagai persenjataan fisik yang memadai. Namun kami tidak pula kemudian akan melegitimasi Ken Arok sebagai simbol kepemimpinan berlandaskan wahyu, hanya karena berhasil menundukkan Kertajaya dari Kediri itu.

    Kepemimpinan wahyu di Jawa sangat fleksibel, dan itu pula sebabnya Pandawa tidak bisa mewariskan kepemimpinannya kepada anak-anaknya atau bahkan cucunya Parikesit. Semua anak Pandawa mati dalam perang Bharatayuda, hanya tersisa Wisanggeni di Khayangan. Sebaliknya Parikesit tidak mampu dikader lama akibat usia Pandawa yang sudah senja. Di samping itu formasi Pandawa merupakan sebuah syarat minimal tentang pondasi kepemimpinan. Setelahnya formasi yang sama sulit terbentuk dalam jumlah yang sederhana. Zaman Demak mengenal Walisanga, dan tentunya zaman setelahnya membutuhkan kualitas yang sama dan itu bisa terwujud dalam kuantitas yang lebih banyak. Nyatanya kontinuasi sistem itu tidak terjadi, dan kekuasaan feodal terus berlanjut. [ * ]

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar