• Dele-isme dan Ironi Serial Petruk Dadi Ratu






    Ronggowarsito mengeluhkan kebijaksanaan Raja yang kosong tanpa kebenaran itu. Ia hanya bisa menuliskan kegelisahannya. Berikut seperti mirip dalam karyanya :

    "Martabat sudah tak karuan, negara murah dinjak-injak tiada berharga. Semua reok ringsek tak berwujud dalam bentuknya. Dikoyak-koyak berantakan. Hukum dirusak sendiri-sendiri. Aturan tak bersuara moral. Tiada lagi pegangan yang patut dipercaya."

    Kalatidha gubahan sang pujangga akhirnya dipuji melampaui zamannya. Genre ramalan yang tersirat seperti menceritakan bahwa sesunggunya ia sedang tenggelam di suatu masa datang yang lebih morat-marit ketimbang kondisi di masanya. Bergulat dengan akar spiritualitas, dilukislah kisah pembuka dan penutup dari hikayat tak berkesudahan berjudul Zaman Edan itu.

    ***

    Dele-isme


    Narasi tulisan ini kuawali dari sini.

    Terlalu banyak yang terkesan sebagai sandiwara. Atau mungkin dunia ini memang gelap. Barangkali bumi ini memang tidak seimbang sehingga gravitasinya adalah kerusakan menuju kepunahan segalanya. Entahlah !

    Bagai peribahasa esuk dele sore tempe, sama-sama dari benda yang sama tapi berbeda. Kebiasaan kita memang terkadang begitu, tak mudah ditebak, kadang jujur dan banyak pula berbohongnya. Jangan bayangkan siapakah orang yang kemungkinan banyak berbohongnya. Atau mungkin lebih dari bohong. Ingkar. Siapa yang banyak ingkar. Ingkar disini adalah mencoba melupakan komitmennya meski sebenarnya tidak lupa sedikitpun.

    Bagi saya kita hidup di sebuah tempat unik. Terlanjur dinamai Indonesia, meski akarnya berasal dari multi identitas. Uniknya bagi saya adalah mentalnya yang dele itu, maksudnya orang Indonesia itu ibarat mengalir terus tanpa tahu hulu dan hilir seperti orang tak merasa bingung tapi sedikit-sedikit tersesat. Untunglah kita punya banyak pemimpin yang lupa ingat tentang tersesat, sebab mereka sudah berpengalaman tersesat. KPK-pun bisa disesatkan untuk urusan agar tidak membawa mereka yang sudah enak tersesat, di belokkan ke jalan yang menuju muara samudra.

    Saya sempat bertanya pada diri saya sendiri: " Kejadian ini langka. Tuhan ada dimana dalam kelangkaan ini ?"

    Ternyata jawaban diri saya justru mengoreksi pertanyaan. Kelangkaan itu dengan sendirinya dibentuk oleh diri saya sendiri, sebab terlalu percaya dengan imajinasi suatu saat nanti akan ada seorang satria penyelamat. Padahal suatu saat nanti itu kapan, tidak seorangpun tahu.

    Kelangkaan juga karena anggapan yang salah. Takdir, takdir dan takdir. Sejak kapan juga, alam mengutuk kita. Tuhan bahkan dengan manis menampilkan segala identitasnya sebagai rohman dan rahim. Identitas welas asih. Takdir yang membelenggu, atau ingatan kita yang sempit untuk mensederhanakan definisi hukum tentang takdir itu sendiri.

    Di dunia ini, ilusi utopis itu perlu diusahakan dan ketakutan akan takdir itu juga perlu dilawan. 

    Kita banyak sekali kecewa sebab tingkah laku zaman edan. Stop dulu, kamu pikir orang tuamu tidak kecewa denganmu. Kamu pikir teman-temanmu menilai dirimu tanpa cacat. Kita memang saling mengecewakan satu sama lain. Pantasnya inilah yang harusnya menurunkan segala ego demi melawan zaman edan.

    Tidak ada yang jangkep trep seperti wewayangn Yudhistira, seorang Raja berdarah putih, sedikit cacatnya, berhati seperti jati yang tegak menengadah ke atas. Yudhistira memang dibutuhkan ada, masalahnya perangkat metamorfosa dari ke-Dasamuka-an menuju ke-Yudhistira-an harus melalui berbagai alur intektual dan moral yang berlapis serta keras.

    Gus Mus pernah mengomentari soal kegilaan zaman ini dengan pameo bahwa jika kepala-kepala orang Indonesia tidak diganti dengan kepala yang baru, kiamat kurang seharipun Indonesia pasti masih seperti ini

    Ungkapan Gus Mus ini kayaknya ekstrim, tapi sedap jika direnungkan. Bagaimana tidak, kepala orang kita itu nggak feodal, nggak demokrasi, sama-sama tetap bertingkat dari satu hingga sepuluh, menjadi Dasamuka di berbagai kompleks lini. Terbanyak, kepala ganda ini berkait dengan pangkat, derajat dan kekayaan di segala lapisan.

    Sebagai permisalan yang paling sering kita dengar adalah riuh rendah perdebatan di kancah otoritas keagamaan akhir-akhir ini. Semangat dunia muda yang sedemikan positif tentang keinginan menjadi alim, sangat disayangkan sebagiannya juga ditumpangi oleh oknum Dasamuka yang bergelar Ustadz. Wajah kepala sepuluh di kepemimpinan agama jauh lebih terasa, terutama lihat saja oknum mereka yang akhir-akhir ini sudah sempurna memonopoli hak Tuhan, mengkavling surga, dan dengan berani mengkafirkan dan mensesatkan sesamanya.

    Kenapa perumpamaannya harus ke bagian otoritas agama ? Tentunya ini bagian dari titik balik bahwa zaman Edan itu menyusup pada sendi paling vital sekalipun. Lantas bagaimana gerangan kejadiannya kalau di otoritas kepemimpinan formal.


    Katakanlah Lurah. Orang baru jadi Lurah begaknya pol itu tanda bahwa kepalanya telah menjadi dua. Selesai satu periode, terpilih lagi, naik kepalanya menjadi tiga. Sekarang tidak belagak lagi tapi sudah berani nilep-nilep sana sini. Dari Lurah nyalon DPR dan terpilih, sundul langit kepalanya makin membesar. Kkepalanya kini berlipat jadi empat dan seterusnya, tingkahnya makin tidak karuan. Inilah tak berlebihan kalau Gus Mus mengkritik dengan pengandaian yang ekstim.

    Jargon beberapa tahun terakhir lalu kita heboh dengan jualan revolusi mental. Saya sangat mendukung hingga saat ini, tapi saya juga tidak kecewa karena merevolusi mental itu tidak bisa dilakukan kalau pelaksananya adalah politisi retoris jual janji saja. Mereka toh ngertinya kata revolusi saja, mental itu nggak ada di kepala mereka. Yang ada itu revolusi mental-mental alias revolusi yang harus dipentalkan. Ketakutan lini kekuasaan kan revolusi alias kudeta. Perkara mental nanti dulu.

    Ejekan di Dunia Wayang

    Sempat dengar judul lakon "Petruk Dadi Ratu" ? Kalo ia, anda antara tertawa dan serius, bingung dan setuju. Petruk si abdi, jongos itu kog bisa-bisanya ngowahi pakem naik menjadi seorang penguasa. Ironisnya pencipta lakon ini agaknya kurang bisa mendalami filosofi dasar Punakawan, sehingga yang keluar adalah Petruk sebagai figur antagonis.

    Saya sendiri senang dengan lakon itu. Lakon yang menurut saya lugas menyindir. Bukan menyindir bahwa yang boleh menjadi Raja hanya bangsawan saja. Tapi lakon ini telah menjadi adat kebiasaan kita sehari-hari yakni me-Ratu-kan Petruk-Petruk disekitar kita.

    Ketika Petruk diamanahi menjaga senjata bernama Serat Jamus Kalimasada atau menurut saya diamanahi senjata untuk menjaga kali (aliran) yang husada (memelihara keselamatan), saat itulah Petruk penasaran tentang apa keampuhan senjata itu. Penasarkannya Petruk ini wajar, namun lama-lama ia menemukan juga titik rahasia senjata itu dan dengan menggunakan senjata itu maka ia akan menjadi orang tak terkalahkan. Padahal Petruk lupa, ia diserahi amanat untuk menjaga pusaka itu, bukan memanfaatkan pusaka itu demi kepentingannya sendiri.

    Dalam kaitannya kisah ini, Petruk tidak dirasuki oleh Dasamuka si kepala sepuluh. Petruk tidak keracunan oleh pikiran serakah sebelumnya. Namun derita terlalu lama dikuasai ternyata bisa muncul juga aji mumpungnya jika si anak Desa itu kemudian punya kesempatan yang sama. 

    Banyak kan para pemimpin kita itu dulu katanya anak beasiswa, anak negara, dari kalangan miskin dan sebagainya. Dan kalau boleh menggugat : Why ? Mengapa perubahan tak kunjung hadir. Kenapa kebanyakan justru berubah menjadi elit bangsawan feodal baru, monopoli kekuasaan, sekaligus berkelakuan tidak pro rakyat kecil. Penyakit lupa mungkin lebih mudah datang, dan datangnya tidak tiba-tiba. Penyakit itu sangat penting untuk mengubur ingatan tentang penderitaan. Ingat menderita itu siksaan. Hingga ketika kini penderitaan itu terobati, haram hukumnya menderitakan diri demi apapun juga dan demi siapapun juga, sebab syarat slametnya disinikan. 

    Tak terelakkan, sindrom Petruk itu nyata adanya, pada akhirnya semua terbuai, terbawa oleh keramat bernama aji mumpung kumanan. Dan stop berbuat untuk aneh-aneh apalagi mengatasnamakan rakyat kecil.

    Ekstrimnya di dunia pewayangan dalam Lakon Petruk Dadi Ratu, tak ada yang bisa menghentikan ekspansi penjajahan oleh Petruk dari negeri ke negeri, menjarah rayah kekayaan alamnya dan menundukkan Raja-Rajanya dengan kekuatannya. Kalo sekarangkan bukan dengan perang, tapi dengan istilah kebijakan, Undang-Undang dan sejenisnya. Pokoknya Yudhistira sampai ketar-ketir dibuat tingkah laku Petruk ini.

    Pada kisah ini yang bisa menahan laju Petruk akhirnya Semar, orang tua, si Bapak angkat Petruk, seorang titisan (transformator) Ismaya kakak dari Bathara Guru. Kalau Semar sudah bertindak berarti perkaranya tidak sederhana. Kalau disebut sudah sistemik mungkin tidak juga, sebab Semar sendiri kemudian mengadu pada Bapak biologis Petruk untuk menyerap sifat ke-genderuwoaan Petruk. Istilahnya ruwatlah.

    Meruwat Petruk artinya mensucikan Petruk ke wujud aslinya sebagai Petruk yang murni dan tidak dikuasai kekhilafan. Realitas pensucian Petruk ini dulu kala konon dilakukan KPK yang kerjaannya mengambil semacam Petruk-Petruk yang kesurupan lalu di isolasi dalam rumah pensucian. Walhasil dalam beberapa waktu saja Petruk kesurupan itu banyak yang ingat dan langsung pakai peci atau mungkin meratap tangis tak kuat memegang tasbih seraya terus berdzikir.

    Lelakon Petruk Dadi Ratu ini menjadi warning agar mereka yang bangkit dari background masa lalu, jangan sampai terperosok pada mimpi me-Ratu-kan diri. Tetaplah jadi Petruk yang me-Munakawani tuan-tuan yang berhati mulia. Karena sekarang menjadi punakawan itu makin jarang. Nilai-nilai ketulusan hati, kerelaan jiwa raga pada seorang tuan sekarang kan mulai pudar.

    Metruk saja kepada rakyat, dan nggak usah Metruk untuk Ngratu-Ngratu ngrusak tatanan kepunakawanan dan Keraton. [*]



  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar